Page 139 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 139

Petruk sudah hafal betul dengan model paham kekuasaan di Karang Kedempel
               dari  waktu  ke  waktu.  Kalau  mau,  sebenarnya  bisa  saja  Petruk  mengamuk  dan
               menghajar  siapa  saja  yang  dianggap  bertanggung  jawab  atas  kesemrawutan
               pemerintahan.  Dengan  kesaktiannya,  apa  yang  tak  bisa  dilakukan  Petruk,  bahkan
               (dulu) pernah terjadi, Sri Kresna hampir saja musnah menjadi debu dihajar anak Kyai
               Semar ini.
                     Tapi Petruk sudah memutuskan untuk mengambil posisi sebagai punakawan yang
               resmi.  Dia  sudah  bertekad  tidak  lagi  mengambil  tindakan  konyol  seperti  yang  dulu
               sering  dia  lakukan.  Baginya,  kemuliaan  seseorang  tidak  terletak  pada  status  sosial.
               Pengabdian  tidak  harus  dengan  menempati  posisi  tertentu.  Melinkan  pada
               pengabdiannya terhadap nusa dan bangsa.
                     Singkat cerita Petruk menjelma menjadi Prabu Kanthong Bolong, Petruk melabrak
               semua  tatanan  yang  sudah  terlanjur  menjadi  “main  stream”  model  kekuasaan  di
               mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan umum, bahwa penguasa boleh bertindak
               semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk berlaku adil atapun tidak. Karuan saja,
               Ulah  Prabu  Kanthong  Bolong  membuat  resah  raja-raja  lain.  Bahkan,  kahyangan
               Junggring Saloka pun ikut-ikutan gelisah. Kawah Candradimuka mendidih perlambang
               adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa.
                     Maka secara aklamasi disepakati, skenario “mengeliminir” raja biang keresahan.
               Persekutuan  raja  dan  dewa  dibentuk,  guna  melenyapkan  suara  sumbang  yang
               mengganggu        tatanan     keyamanan       yang     sudah      terbentuk    selama      ini.
               Hasilnya?, semua usaha untuk melenyapkan suara sumbang itu gagal total.Bukannya
               Prabu Kanthong Bolong yang mati. Tapi raja jadi-jadian Petruk ini malah mengamuk.
               Siapapun  yang  mendekat  dihajarnya  habis-habisan.  Kresna  dan  Baladewa  dibuat
               babak     belur.   Batara     Guru    sang     penguasa      kahyangan     lari   terbirit-birit.
               Kesaktian  dan  semua  ajian  milik  dewa-dewa  dan  raja-raja,  seperti  tak  ada  artinya
               menghadapi Prabu Kanthong Bolong. Tahta Jungring Saloka pun dikuasai raja murka
               ini.  Keadaan  semakin  semrawut.  Sampai  akhirnya  Semar  Bodronoyo  turun  tangan
               mengendalikan situasi.
                     “Ngger, Petruk anakku!”, Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti
               biasanya. “Jangan kau kira aku tidak mengenalimu, ngger!”
                     “Apa  yang  sudah  kau  lakukan,  thole?  Apa  yang  kau  inginkan?  Apakah  kamu
               merasa hina menjadi kawulo alit? Apakah kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja?
                     “Sadarlah ngger, jadilah dirimu sendiri“. Prabu Kanthong Bolong yang gagah dan
               tampan, berubah seketika menjadi Petruk.
                     Berlutut  dihadapan  Semar.  Dan  Episode  “Petruk  Dadi  Ratu”  pun  berakhir.
               Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa
               isi hatiku, selain Dia aku tak perduli” Kembali dia mengayunkan “pecok”nya membelah
               kayu  bakar.  Sambil  bersenandung  tembang  pangkur:  “Mingkar-mingkuring  angkoro,
               akarono  karanan  mardisiwi,  sinawung  resmining  kidung,  sinubo  sinukarto….”
               Hahahaha  dan  Petruk  pun  tertawa  kembali  melakoni  perannya  sebagai  Punakawan
               Resmi mayapada ini.
                     Dalam  pandangan  Lombard  (2005:135)  lakon  Petruk  Dadi  Ratu  memang  khas
               Jawa.  Hal  ini  merupakan  dunia  mungkin  bahwa  rakyat  kecil  ketika  memiliki  pusaka
               Kalimasada,  akhirnya  dapat  menjadi  penguasa.  Kepemimpinan  semacam  ini  jelas
               sebuah  ironi bagi bangsa.  Dalam  istilah  Pramono  (2010:157) ironi  merupakan  komidi
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144