Page 134 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 134
merasakan kebahagiannya. Seharusnya kau tahu Wisrawa, hati manusia dalam
badan jasmaninya itu demikian lemahnya. Budimu bisa membayangkan
keluhuran apa saja, tapi bersamaan dengan itu hatimu menuju ke kenistaan
seperti kau alami sekarang ini. Sastra Jendra pada hakikatnya adalah
kepasrahan hati kepada Illahi, supaya manusia mensucikannya. Kepasrahan
itulah yang tak ada dalam dirimu ketika kau memahami Sastra jendra. Kau
dihukum karena kesombongan budimu, itulah dosa anakku.”
Suara yang mirip “suara bapak” itu, sebenarnya bisikan nurani terdalam. Bisikan
ini bersih, suci, mewakili cahaya Illahi – tak ternoda. Pada saat itu, ketika manusia
menjalankan tugas (baca: memimpin), kadang-kadang tak mau mendengarkan bisikan
hati. Mereka lebih banyak mengandnalkan nafsu, sehingga nurani terkalahkan.
Akibatnya, mereka memimpin dalam kegelapan, sesat.
Sebaliknya, pemimpin yang menguasai ngelmu Satra Jendra, berarti telah
memiliki “ilmu tua”. Menurut Jatman (1997:105-106) ngelmu itu membutuhkan laku
(perbuatan). Ngelmu disebut juga pangawikan.Pimpinan yang menguasai ngelmu cara
memimpin akan mandul jika tidak disertai laku. Ngelmu lebih menitikberatkan pada
aspek tindakan secara mistik dan kritis. Pimpinan ini penuh kepasrahan dan dituntuntun
oleh nurani yang jernih. Hal itu berarti, mereka mampu menguasai “inti” Sastra Jendra
yang memuat ajaran tinggi, antara lain: (1) ngelmu wewadining bumi kang sinengker
hyang jagad pratingkah, artinya ilmu rahasia (gaib) tentang alam semesta yang berasal
dari Tuhan, (2) pangruwating barang sakalir, artinya membebaskan atau memusnahkan
segala nafsu angkara murka, dan (3) kawruh tan wonten malih, artinya ilmu yang
sempurna (kasunyatan).
D. Memimpin dengan Akal Budi
Pemimpin yang tak mampu menguasai Sastra Jendra, berarti kepemimpinannya
akan melahirkan kesengsaraan. Betapa tidak, seperti dalam kisah tadi, kekeliruan
Wisrawa dan Sukesi telah melahirkan angkara murka yang diwakili oleh figur
Dasamuka. Ia raja, pimpinan yang tamak. Karena, ia lahir dari nafsu yang tergelincir –
lalu bukan tak mungkin kalau cara kepemimpinannya juga ingin berkuasa terus-
menerus. Dasamuka, adalah raja yang tamak dan serakah. Ingin mengumpulkan harta
kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia ingin menang sendiri dan bersikap adigang adigung
adiguna. Tak mengetahui kelemahan dirinya. Apalagi, dia memang memiliki Aji
Pancasona, yang setiap bersentuhan dengan tanah akan hidup kembali.
Itu pun harus disadari, karena kelahiran Dasamuka memang tak wajar. Ketika
lahir, telah disambut dengan suara halilintar, menggelegar, seperti ada gunung meletus
atau bom. Ternyata, itu mengisyaratkan muncul pemimpin yang menjadi pendukung
adarma. Dasamuka adalah pemimpin yang lahir dari seorang resi yang tak mampu
mengekang hawa nafsu. Seorang resi yang tergoda oleh nafsu, sehingga akal budinya
tergelincir jauh.
Dasamuka tak mau diperingatkan oleh siapa pun. Tak terkecuali peringatan
adiknya, Kumbakarna – tak dihiraukan. Kumbakarna sebagai satriya yang dikenal jujur
pun, tak bisa mengingatkan kakaknya. Apalagi seorang adik Sarpakanaka, jelas usul
dan bicaranya tak dipakai. Bahkan, ketika Gunawan Wibisana berusaha menjinakkan
dia pun, dianggap angin lalu. Akibatnya, Wibisana (harus) mau disuruh pergi. Wibisana