Page 129 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 129
Pribadi adalah akar kejiwaan Jawa yang halus. Kepribadian Jawa sulit
digoyahkan oleh apa pun. Maka ketika memegang kekuasaan, pribadi Jawa amat
menentukan. Ketika pimpinan dijatuhkan pada berbagai pilihan hidup, memutuskan
sesuatu, tentu kepribadian yang akan bermain. Pribadi pimpinan pusat seperti raja
dan pimpinan yang dari pinggiran, selalu dipengaruhi oleh pribadi masing-masing.
Anderson (1986:85-88) menjelaskan kalau kekuasaan yang sesungguhnya dianggap
mengalir dari pusat yang terkonsentrasi, dan bukan dari daerah pinggiran yang
terpencar, maka tingkah laku pejabat tentu seharusnya lebih mencerminkan
keinginan-keinginan pusat daripada keinginan-keinginan daerah. Argumentasi
serupa dapat membantu menerangkan begitu mudahnya orang Jawa, di bawah
pemerintahan yang mengandalkan kewibawaan dari Soekamo, menerima munculnya
kelompok-kelompok kekuasaan informal di luar struktur birokrasi yang "legal-
rasional". Apa yang disamakan "golongan istana' di zaman Demokrasi Terpimpin
sesungguhnya merupakan kabinet dapur penguasa, pembantu-pembantu pribadi
dan orang-orang kepercayaannya. Kekuasaan luar biasa yang mereka pegang
dalam praktiknya semata-mata tergantung kepada kenyataan bahwa dekatnya
mereka dengarl pusat diakui oleh seluruh elite politik dan pemerintahan.
Walaupun kelas penguasa Jawa tradisional dapat didefinisikan dalam
pengertian-pengertian struktural sebagai hirarki para pegawai dan keluarga-keluarga
besar mereka, namun sebagaimana keadaannya dengan kelas penguasa mana pun,
mereka itu dibedakan, malahan memang membedakan diri, dari orang kebanyakan
dalam gaya hidup dan sistem nilai yang mereka antri dengan rasa sadar akan diri
mereka. Sekarang ini kata priayi, yang merupakan sebutan paling umum bag' kelas
ini, lebih mengandung arti nilai-nilai etika dan cara pelaksanaan, daripada jabatan
resmi. Namun nilai-nilai dan cara berkelakuan ini berhubungan erat dengan fungsi-
fungsi.
Pada akhirnya, tanggung jawab pribadi haruslah didasarkan atas
kekuasaan pribadi yang otonom. Sukarlah mempertahankan norma bersama
dengan pandangan tradisional bahwa para pembantu penguasa itu tidak
mempunyai kekuasaan tersendiri terlepas dari kekuasaan atasannya. Sifat
yang biasanya secara tradisional ditekankan oleh priayi untuk membedakan mereka
dari orang kebanyakan, ialah sifat kehalusan. Arti istilah ini, yang sukar sekali
didefinisikan secara tepat dalam bahasa Inggris, walaupun usaha yang terpuji telah
dilakukan oleh Geertz dan lain-lain, sampai batas tertentu tercakup oleh pengertian
"tidak tergoyahkan", "tidak temoda", "tidak kasar", atau "polos". Kehalusan jiwa
berarti penguasaan diri, dan kehalusan penampilan berarti tampan dan bercita rasa;
kehalusan tingkah laku berarti tata krama serta perasaan peka. Sebaliknya, sifat
yang bertentangan dengan itu, yaitu sifat kasar, berarti "tidak dapat mengendalikan
diri", "tidak teratur", "tidak seimbang", "tidak selaras", "jelek", dan "tidak mumi".
Karena kasar itu adalah sifat alami manusia, di mana tenaga, pikiran dan tingkah
lakunya tidak dikendalikan dan tidak dipusatkan, maka orang tidak memerlukan
usaha untuk mencapai sifat itu. Tetapi sebaliknya untuk menjadi halus, diperlukan
usaha dan pengendalian terusmenerus, sehingga seluruh spektrum perasaan dan
pikiran manusia dapat diubah menjadi suatu pancaran cahaya "putih" lralus yang
terdiri dari daya yang dipusatkan.