Page 127 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 127
harus menyadari bahwa dirinya berkewajiban menjaga nilai-nilai moral luhur yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat dan bangsanya. la perlu berupaya agar
seluruh perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sejalan dengan kodrat dirinya
sebagai insan individu, sosial, dan makhluk hamba Tuhan. Kedudukannya selaku
pemimpin dipandangnya sebagai amanah untuk menjaga keluhuran moral bangsa
dan rakyatnya.
Keempat, pemimpin harus berwatak madava. Pemimpin dikatakan berwatak
madava jika ia telah memiliki kepribadian yang ramah-tamah. Kata madava artinya
ramah-ramah. Pemimpin diwajibkan memiliki pribadi atau watak yang ramah-
tamah. Sikap hidup ramah-tamah tidak dapat (atau tidak boleh) diartikan
melemahkan kekuatan untuk bertindak tegas. Pemimpin harus berlaku ramah
terhadap bawahan. la tidak menempatkan dirinya sebagai single power yang ber-
penampilan angker. Penampilan angker bagi seorang pemimpin tidak akan
melahirkan penghargaan yang tulus dari rakyat kepadanya. Keangkeran justru
akan menimbulkan tindakan agitatif atau perlawanan dari rakyatnya. Pemimpin
yang angker akan menuai perlawanan dari bawahan karena sangat mungkin
bawahan akan menohok dari belakang.
Kondisi yang ada selama ini justru berkebalikan. Banyak pemimpin menjaga
jarak dengan rakyatnya. Sikap menjaga jarak tersebut sering dipandang untuk
menjaga kewibawaan. Dan sebaliknya, banyak calon pemimpin yang berlaku
ramah dengan rakyatnya. Akan tetapi, sikap dan perilaku ramah itu segera hilang
setelah dirinya menduduki posisi pimpinan. Pemimpin seperti itu bukanlah
pemimpin yang berwatak madava.
Keramahan seorang pemimpin harus keluar dari hati nurani, dan terlepas
dengan kepentingan duniawi, termasuk kepentingan menjaga hegemoni kepemim-
pinannya. Sikap ramah-tamah itu keluar dari hati mulia yang luhur (watak susila)
sebagai suara hatinya dalam menghargai rakyatnya sebagai sesama insan. la
harus sadar bahwa dirinya menjadi pemimpin karena ada rakyat. la harus menyadari
bahwa dirinya tidak mungkin menjadi pernimpin jika tidak ada rakyat yang
dipimpinnya. Jiwa madava tersebut diharapkan mampu menempatkan seorang
pernimpin sebagai abdi bangsa, atau pelayan masyarakat. Jika pernimpin adalah abdi
atau pelayan, maka rakyat atau bawahan adalah majikan. Sudah barang tentu tidak
pada tempatnya pelayan berlaku angker atau angkuh terhadap majikannya.
Sebaliknya, pelayan akan berupaya berlaku manis dan ramah kepada majikan agar
pengabdiannya dapat diterima dengan tulus oleh majikannya.
Ajaran dalam Dasa Darma Raja ini hendaknya menjadi renungan bagi para
pemimpin. Semua pernimpin harus menyadari, ju,stru dirinyalah yang menjadi pelayan
bagi bawahan. Pemimpin semestinya menolak pandangan bahwa dirinya harus
mendapatkan perlakuan istimewa dari komunitas yang dipimpinnya. Pemimpin yang
menempatkan dirinya sebagai pelayan akan mengembangkan watak ramah-tamah
atau madava. Sebaliknya, pernimpin yang menempatkan diri sebagai pihak yang
harus mendapatkan perlakuan istimewa atau pelayanan dari bawahan tidak mungkin
memiliki watak yang ramah-tamah. la akan menilai bahwa kewibawaan dan nilai
kepemimpinannya akan merosot jika ia bersikap ramah dengan bawahan. Padahal,
menurut ajaran Dasa Darma Raja, justru pemimpinlah yang harus ramah terhadap
bawahan, bukan sebaliknya: bawahan dituntut ramah dan menghargai pemimpinnya.