Page 123 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 123
penasehat, bagus. Presiden memiliki DPA, lumayan. Hanya saja, seringkali nasehat
tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal. Atau, bahkan seringkali nasehat tersebut
ada yang memiliki tendensi tertentu, yang hanya menguntungkan suatu kelompok – ini
jelas berbahaya.
Kelima, pimpinan harus mengasihi terhadap sesama. Kasih sayang adalah
sangat mahal bagi seorang pimpinan. Kasih sayang tak hanya diwujudkan dalam
bantuan material, melainkan pemberian keadilan dan kepercayaan pada rakyat. Rakyat
menginginkan bahwa keadilan, kesejahteraan, dan kententeraman adalah milik
bersama.
Dari lima hal tersebut, seorang pimpinan dapat melakukan refleksi diri – apakah
selama ini telah melakukan yang terbaik atau belum. Hal ini menegaskan bahwa
mawas diri adalah kunci keberhasilan seorang pimpinan. Pimpinan hendaknya mampu
mengolah hati dengan cara mawas diri (mulat sarira). Dalam kaitan ini orang Jawa
mengenal tiga falsafah psikologis mawas diri, yaitu sikap rumangsa handarbeni, wani
hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani. Artinya, merasa memiliki (negara), berani
membela negara demi keadilan dan kebenaran, serta mau mawas diri. Pemimpin yang
mampu berbuat demikian, akan bisa rumangsa (mampu merasakan) penderitaan
rakyat, dan bukan sebaliknya rumangsa bisa (ingin disanjung, sombong, dan sok tahu).
Itulah dasar sikap pemimpin untuk mawas diri yang hakiki. Manakala hal tersebut
dikuasai seorang pemimpin, kiranya negara akan tata titi tentrem. Karena, mereka
memimpin dengan sikap mau introspeksi terhadap kesalahan sendiri. Self-koreksi ini
sebenarnya yang menjadi perjuangan psikologi Jawa. Koreksi diri adalah kontrol batin
yang hanya dapat dilakukan manakala seorang pimpinan melakukan penghayatan rasa
sejati. Yakni, rasa tertinggi yang menjadi pengatur segala rasa.
Rasa sejati, dalam sastra suluk disebut mira’tul kaya’i atau kaca wirangi. Rasa
sejati juga disebut mulhimah atau jati ngarang. Rasa ini yang akan membimbing rasa
lain, seperti rasa yang timbul dari rasa njaba (gejolak panca indera) yang menyembul
menjadi hawa nafsu rendah. Atas bimbingan rasa sejati, hawa nafsu seperti amarah,
aluamah, supiah, mutmainah akan berfungsi sebagai harmoni. Ketika itu, manusia baru
dapat mawas diri. Ia mampu mengadakan dialog dengan hati sendiri. Lalu, ada “tawar-
menawar”, ada penilaian secara obyektif dalam diri manusia.
Koreksi diri semestinya berjalan terus-menerus. Setiap langkah hidup, setiap ada
keputusan, setiap ada gerak – perlu mawas diri. Ini juga berlaku bagi para pejabat
negara yang kebetulan memegang penegakan hukum. Maksudnya, apakah langkah
hukum dan keputusan yang diambil telah mencerminkan keadilan atau belum. Seperti
halnya diungkapkan dalam Suluk Residriya, sebagai berikut:
Lamun sira tinitaha kaki
pan kinarya jaksa amradata
den kadya traju esthane
tajeme timbanganipun
pepakeme aja gumingsir
aja melik ing donya
yen tan bener iku
lan aja keguh ing srama
wong kang padu lir ulam aneng jro warih
kalebu ing bebara