Page 124 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 124
Bait tembang tersebut memberikan pancaran hati kepada seorang jaksa. Jaksa
hendaknya seperti menimbang emas (traju emas) dalam menuntut perkara. Terlebih
lagi para hakim yang harus memutuskan perkara. Termasuk di sini adalah ketika jaksa
dan hakim memutuskan kasus Soeharto yang selalu tarik ulur. Rupanya, ada budaya
ewuh pakewuh yang melilit pada diri penegak hukum. Akibatnya, ketika Soeharto masih
sehat tak segera diajukan ke pengadilan. Setelah sakit juga jadi masalah.
Karena itu, dari tembang di atas diharapkan jaksa dan hakim tetap berpegang
teguh pada aturan yang ada. Termasuk di dalamnya mereka aja melik donya, artinya
jangan mau disuap. Begitu pula jangan banyak alasan yang dicari-cari. Jika yang
terakhir ini sampai terjadi, diibaratkan seperti ikan yang ada di dalam lautan – hanya
pergi kemana-mana, berputar-putar, tak jelas arahnya. Mereka ibarat orang mbebara
(pergi kemana saja) tak jelas yang dituju.
Seorang pemimpin memang diharapkan lebih bijak. Lebih bersikap humanistis
dalam menangani berbagai persoalan bangsa. Hal ini seperti digambarkan dalam
Pepali Ki Ageng Sela sebagai berikut:
Sapa-sapa wong kang gawe becik
Nora wurung mbenjang manggih arja
Tekeng saturun-turune
Yen sira dadi agung
Amarintah marang wong cilik
Aja sedaya-sedaya
Mundhak ora tulus
Nggonmu dadi pangauban
Aja nacah marentaha kang patitis
Nganggoa tepa-tepa
Tembang tersebut memberikan pegangan kepada pemimpin agar tidak
memerintah dengan semaunya sendiri (anacah). Sebaiknya memerintah negara
dengan taat pada aturan (patitis) dan tepa selira (tepa-tepa). Artinya, banyak
mempertimbangkan aspek-aspek humanistis dalam memutuskan sesuatu. Misalkan,
kalau pemerintah kali ini sedang akan bereforia dengan abolisi terhadap Soeharto –
apakah telah menerapkan tepa selira? Tepa selira bagi Soeharto mungkin, ya, tapi bagi
rakyat banyak jelas bertentangan dengan asas keadilan.
Tepa selira adalah bagian dari mawas diri. Secara psikologis, tepa selira akan
memberikan tuntunan kebijaksanaan seorang pemimpin. Namun demikian, tepa selira
tak berarti harus meninggalkan aspek lain. Karenanya, pimpinan dituntut benar-benar
jeli dalam menerapkan prinsip ini. Maksudnya, pimpinan memang tak dibenarkan
berjiwa balas dendam, karena sifat satu ini hanya akan menyulut permusuhan.
Andaikata dulu Mega pernah dikuya-kuya (disengsarakan) ketika orde baru berkibar,
tentu tak harus dibalas dengan perlakuan senada.
Soeratno (2006:198-205) membeberkan sepuluh watak seorang pimpinan,
khususnya sebagai raja. Sepuluh watak itu dia namakan dasa darma raja. Darisepeluh
hal itu, ada yang sejalan dengan konsep watak pemimpin Jawa. Watak seorang
pimpinan adalah bagian psikologis yang perlu dikuasai siapa saja, agar hubungan
antara atasan dan bawahan semakin akrab. Perwatakan pemimpin Jawa termaksud
sebagai berikut.