Page 125 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 125

Pertama, pemimpin harus berwatak dhana. Seorang pemimpin dituntut memiliki
               watak  dhana,  yang  artinya  suka  bersedekah.  Dalam  hal  ini,  ber;dhana  tidak  boleh
               dipahami  sekadar  memperhatikan  orang-orang  miskin  dengan  memberikan  sedekah
               atau  santunan.  Lebih  dari  itu,  watak  dhana  harus  secara  sadar diwujudkan  di dalam
               tindakan  beramal  demi  kebahagiaan  umat.  Watak  dhana  harus  dipahami  sebagai
               keharusan:  diminta  ataupun  tidak  diminta,  harus  tetap  dilakukannya.  Ini  berarti,
               keharusan  berdhana  adalah  bagian  inheren  dari  kewajiban  seorang  pemimpin,  dan
               harus ditujukan kepada seluruh elemen yang lebih rendah (bawahan).
                     Jika ber-dhana telah dipahami sebagai keharusan bagi pemimpin, maka tindakan
               bersedekah  kepada  rakyatnya  tidak  lagi  ia  lakukan  atas  dasar  kepentingan  sesaat.
               Tidak  dibenarkan  jika  pemimpin  memberi  santunan  dan  perhatian  kepada  bawahan
               (rakyatnya)  demi  meraih  dukungan  pada  pemilihan  pemimpin  periode  berikutnya.
               Tindakan  bersedekah  secara  temporer  yang  sarat  dengan  kepentingan  pragmatis
               seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai cerminan watak dhana.
                     Dewasa  ini  disinyalir  adanya  pihak-pihak  tertentu  yang  memberikan  santunan
               kepada  calon  pemilih  menjelang  pemilihan  (seorang)  pemimpin.  Misalnya,  calon  A
               memberikan sumbangan kepada perorangan atau kelompok agar mendapat dukungan
               dalam pencalonan dirinya. Calon B memanfaatkan hartanya untuk mencari dukungan
               bagi  pencalonannya.  Calon  C  membagi-bagikan  sumbangan  menjelang  pemilihan
               umum dengan harapan mendapat dukungan suara. Tindakan 'rnenyantuni' seperti ini -
               yang  sebetulnya  sangat  sensitif  dengan  tudingan  sebagai  tindakan  curang  dan
               pembodohan  -  pada  hakekatnya  bukan  cerminan  dari  sosok  pemimpin  yang memiliki
               kepribadian dan jiwa dhana.
                     Sebagai  sosok  yang  harus  memiliki  sifat  dhana,  seorang  pemimpin
               berkewajiban  pula  membangun  kesadaran  orang-orang  yang  dipimpinnya  untuk
               memiliki  sifat  dhana.  Dengan  demikian,  seorang  pemimpin  berposisi  sebagai
               teladan bagi rakyatnya. Pada gilirannya, rakyatnya memiliki kesadaran ber-dhana
               sebagaimana  yang  diperankan  oleh  pemimpinnya.  Jika  situasi  ideal  ini  dapat
               diwujudkan,  pastilah  tercipta  suatu  masyarakat  yang  memiliki  semangat  dan  jiwa
               ber-dhana, dan akan tercipta kehidupan yang terajut oleh suasana pergaulan yang
               saling  menyantuni:  yang  mampu  berkewajiban  menyantuni  yang  kurang  mampu;
               yang  kurang  mampu  merasa  wajib  berterima  kasih  atas  santunan  orang  lain,
               sembari  membangun  kesadaran  agar  dirinya  dapat  melakukan  kewajiban  untuk
               menyantuni  kepada  orang  lain  di  kemudian  hari.  Pada  akhirnya,  kewajiban
               menyantuni  pihak  lain  tidak  sekadar  keyvajiban  temporal  yang  dihubungkan
               dengan kepentingan pribadi yang sangat pragmatis. Kewajiban ber-dhana haruslah
               menjadi jiwa dan kepribadian seluruh elemen masyarakat, baik menjadi kesadaran
               para  pemimpin,  pejabat  negara,  rakyat,  maupun  orang-orang  yang  menerirna
               dhana.
                     Selanjutnya,  mewariskan  kesadaran  ber-dhana  tersebut  kepada  keluarga
               sendiri, lingkungan sekitar, lingkungan dinas, dan lain-lain. Pemberian dhana atau
               santunan tersebut tidak hanya berupa materi (atau uang), tetapi dapat pula dalam
               bentuk  lainnya  (pendidikan,  tenaga,  nasihat,  dan  sebagainya).  Bagi  masyarakat
               terpencil, santunan dalam bentuk materi, mungkin saja kurang tepat. Untuk wilayah
               terpencil,  santunan  berupa  peluang  menempuh  pendidikan  akan  jauh  lebih
               bermakna  ketimbang  santunan  uang.  Bagi  kaum  pengangguran,  santunan  uang
   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130