Page 126 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 126
tunai guna mencukupi kebutuhan makan bisa juga tidak tepat, lantaran santunan
peluang lapangan kerja jauh lebih berharga dan bermanfaat. Dalam kaitan ini,
pemimpin harus memiliki kecerdasan dalam menyalurkan sancunan sebagai
ekspresi pribadi yang berjiwa ber-dhana (berderma).
Kedua, pemimpin harus berwatak tapa. Dalam kehidunan masyarakat Jawa
tempo dahulu yang masih menganut paham tradisi, sering diceritakan adanya
orang yang melakukan tindakan tapa atau bertapa (dalam bahasa Jawa disebut
laku). Tindakan bertapa harus dipahami sebagai ritual untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam posisi ber-tapa, seseorang tidak lagi
memikirkan hal-hal yang bersifat kesenangan hidup secara fisik, melainkan
berkonsentrasi kepada hal-hal yang tertuju pada kemuliaan hidup. Bahkan, seorang
yang ber-tapa, sebaiknya melepaskan semua keinginan duniawi untuk mencapai
derajat manusia yang bijak atau arif.
Dalam ajaran Dasa Darma Raja, kata tapa artinya bersahaja dan sederhana.
Dalam konteks ini, kesederhanaan seorang pemimpin harus dipandang sebagai
keluhuran budi pemimpin. Kesederhanaan itu merupakan cerminan dari semangat
pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Sebaliknya, bukan pada tempatnya bagi
seorang pemimpin untuk bergaya hidup mewah. Terlebih lagi, sangatlah naif bila
seorang pemimpin bergaya hidup mewah di tengah-tengah rakyatnya yang mengalami
penderitaan. Pemimpin yang bergaya hidup mewah sewaktu kondisi negara sedang
terpuruk dapat disebut pemimpin yang tidak memiliki sense of crisis. Banyak pihak
menyatakan bahwa pemimpin yang demikian itu sebagai sosok yang tidak memiliki hati
nurani.
Kesederhanaan dan kesahajaan hidup seorang pemimpin harus benar-benar
menjiwai perilakunya. Dari sifat sederhana dan bersahaja tersebut akan melahirkan
pribadi yang memahami persoalan bangsanya. Ia pun akan mengelola kekayaan
negara dengan semestinya, tanpa sedikitpun berniat untuk memperkaya diri. Pemimpin
seperti itu akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk kebaikan rakyat. la sosok
pemimpin yang merakyat, bukan pemimpin yang memanfaatkan rakyat. Memang,
banyak pemimpin yang bisa dekat dengan rakyat, akan tetapi jarang sekali ada
pemimpin yang memiliki kepribadian senasib dan sependeritaan dengan rakyat. Oleh
sebab itu, pribadi pemimpin yang berwatak tapa akan mendasari perilakunya dalam
segala hal dalam bingkai kesederhanaan. Kesederhanaan dan kesahajaan pemimpin
itu terpancar dalam penampilan hidup diri dan keluarga, bawahannya, dan ini tentunya
akan ditiru oleh rakyatnya.
Ketiga, pemimpin harus berwatak susila. Pemimpin harus memiliki watak susila.
Kata susila artinya fuhur atau mulia. Pemimpin disebut memiliki watak susila jika
mampu menampilkan dirinya sebagai sosok yang berperilaku luhur-mulia. Karena
berposisi sebagai sosok yang dicermati berbagai pihak, seorang pemimpin perlu
memperhatikan moralnya. Dengan demikian, pemimpin yang disegani oleh rakyatnya
adalah mereka yang memiliki moral mulia. Orang susila tidak pernah melakukan
pelanggaran nilai-nilai moral yang diakui dan diagungkan oleh rakyatnya.
Pemimpin dikatakan berwatak susila jika segala tindakannya tidak
menjatuhkan martabat kemanusiaan diri dan bangsanya. Oleh sebab itu, seorang
pemimpin harus selalu mengontrol dirinya agar tidak tergelincir ke dalam perbuatan
yang bertentangan ciengan moral. Dalam posisi sebagai pemimpin, seseorang