Page 131 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 131

satria. Lagi pula, seandainya ia menyeberang ke pihak Pandawa, maka tidak hanya
               akan  ikut-ikutan  dengan  mereka  yang  telah  pasti  menang,  tetapi  juga  akan
               merendahkan martabat  kemenangan  akhir  para  Pandawa. Tanpa adanya  Karna di
               pihak mereka, para Kurawa bukanlah lawan bagi saudara-saudara sepupu mereka
               sehingga perang besar Bratayuda yang telah ditakdirkan itu akan merupakan suatu
               operasi militer sepihak tanpa kemegahan. Maka terhadap Kurawa dan Pandawa, ia
               akan memenuhi darmanya dengan memihak kepada Prabu Suyudana, walaupun ia
               sadar bahwa hal itu akan menyebabkan kematiannya.
                     Dalam  bagian  epik  yang  bahkan  lebih  terkenal,  Arjuna  di  medan  perang.
               Dihadapkan  dengan  Karna  saling  berhadap  saudara  seibunya  sendiri,  Arjuna
               "menjadi  lemah".  Dengan  rendah  hati  dia  menyatakan  kepada  Kresna,  bahwa  ia
               tidak  sampai  hati  untuk  membunuh  saudaranya  sendiri  dan  tidak  sanggup
               menghadapi  kemungkinan  penderitaan  dan  kematian  yang  demikian  banyaknya.
               Jawaban klasik Kresna adalah bahwa rasa kemanusiaan seperti itu pada pokoknya
               adalah  suatu  bentuk  pamrih.  Ikatan-ikatan  pribadi  semestinya  tidak  boleh
               menggoyahkan seorang satria dalam memikul tanggung jawab yang telah diletakkan
               di  bahunya.  Satria  pergi  ke  medan  perang  siap  untuk  mati  kalau  perlu,  tetapi  ia
               berjuang  bukan  karena  kebencian  atau  nafsu  pribadi,  melainkan  karena  darma.
               Arjuna  semestinya  tidak  boleh  kurang  jiwa  satrianya  daripada  Karna  yang  telah
               melakukan  darmanya  walaupun  ia  sendiri  sudah  nlengetahui  bahwa  ini  akan
               menyebabkan  kematiannya.  Nlaksud-maksud  takdir berada  jauh  di  atas  kehendak-
               kehendak  manusia  yang  fana  ini.  Karena  ia  diingatkan  kembali  akan  tanggung
               jawabnya, maka Arjuna kembali memasuki medan peperangan.
                     Hanya berdasarkan konsep pamrih inilah kita dapat memahami dengan wajar
               sikap  banyak  orang  Jawa  terhadap  akumulasi  kekayaan.  Nafsu  memiliki  untuk
               kepentingan  pribadi,  seperti  halnya  menghanyutkan  diri  dalam  seks  dan  ambisi
               politik, adalah salah satu jenis paling jelas dari pemanjaan diri sendiri atau pamrih.
               Demikian pula mengejar kekayaan secara terbuka yang merupakan sifat pedagang
               atau  pengusaha menunjukkan tiadanya  kekuasaan dan  karena itu tiadanya  status.
               Pendapat  ini  jangan  diartikan  bahwa  orang  Jawa  yang  berstatus  tinggi  pada
               umumnya  bukan  orang  yang  kaya,  atau  bahwa  tradisi  Jawa  tidak  menganggap
               balmva  kekayaan  itu  merupakan  suatu  utribut  yang  penting  bagi  penguasa  dan
               teman-teman  terdekatnya.  Tetapi  uang  itu  sendiri  sekali-kali  jangan  dijadikan
               sasaran  pencarian  aktif.  Kekayaan  hendaknya  mengalir  kepada  orang  yang
               mempunyai  kekuasaan,  sebagai  akibat  dari  kekuasaan  itu,  sama  halnya  dengan
               pusaka,  penduduk  yang  besar  jumlahnya,  istri-istri,  kerajaan-kerajaan  dan  negara-
               negara  tetangga  yang  mengalir  ke  arah  penguasa  itu,  seolah-olah  semuanya  itu
               tertarik  ke  pusat  oleh  kekuatan  magnetis.  Kekayaan  besar  yang  menurut  cerita
               dimiliki  oleh  raja-raja  agung  di  Jawa  dulu  kala,  selalu  merupakan  suatu  atribut
               kekuasaan,  dan  bukan  sarana  untuk  mendapat  kekuasaan  itu.  Jadi  dalam  tradisi
               politik  Jawa,  kekayaan  sudah  pasti  mengikuti  kekuasaan  dan  bukan  kekuasaan
               mengikuti kekayaan.
                     Jiwa  pimpinan  yang  halus  semakin  hati-hati  dalam  bertindak.  Mereka  akan
               menghindari  tindakan  yang  tanpa  landasan.  Seorang  pimpinan  yang  memegang
               teguh  pribadi  halus,  jiwanya  tidak  akan  mudah  tergoyahkan.  Jiwa  dan  semangat
               hidup  didorong  oleh  budi  halus.  Budi  halus  tersebut  yang  menuntun  mencapai
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136