Page 132 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 132
kesempurnaan hidup. Jadi memimpin sama halnya sedang mencari kesempurnaan.
Sempurna berarti tanda kelak akan selamat.
C. Pemimpin Jawa Mengendalikan Hawa Nafsu
Pekerjaan pimpinan yang paling berat adalah melawan jiwanya sendiri. Jiwa
manusia bergerak terus menerus, menuntut berbagai hal, yang kadang-kadang di luar
dugaan. Tuntutan itu didorong oleh hawa nafsu yang meledak-ledak. Kasus Simulator
SIM, yang melibatkan pencucian uang milyaran, adalah kegagalan mengelola hawa
nafsu. Setiap pimpinan selalu digoda oleh hawa nafsu. Pimpinan yang tidak tahan
mengendalikan hawa nafsu, tinggal menunggu saatnya, akan tumbang dengan
sendirinya.
Dalam buku Falsafah Hidup Jawa (2007), sudah saya gambarkan simbol ajaran
Jawa yang terkait dengan pengendalian hawa nafsu. Secara luas saya lukiskan bahwa
pemimpin Jawa memiliki pegangan tertentu yang membuat tahta bisa langgeng.
Pegangan tersebut ada bermacam-macam dan setiap pemimpin memiliki pedoman
yang berbeda-beda. Ada di antara pemimpin yang berkiblat pada ajaran Astha brata
dan ada pula yang berpegang teguh pada ajaran Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu. Ajaran yang terakhir ini bukan sekedar persoalan cinta, tapi juga
membicarakan tahta. Tak sekedar seks yang (hanya) terburu nafsu, melainkan seks
yang hakiki -- menurunkan hakikat kepemimpinan. Pemimpin sejati, pinilih. Yakni,
pemimpin yang kewahyon (menerima wahyu), bukan pemimpin yang sekedar tergoda
nafsu berkuasa.
Secara tersamar, karya besar tersebut ingin menggambarkan kepada publik
bahwa kepemimpinan ada hubungannya dengan faktor keturunan. Keturunan orang
baik, boleh jadi akan menurunkan pemimpin baik pula. Begitu pula sebaliknya,
pemimpin yang jelek, akan memunculkan figur pemimpin yang serakah. Berarti,
pemimpin memang terkait dengan konsep tradisi bibit-bobot-bebet, artinya keturunan-
kedudukan-kewibawaan (kepandaian) akan mempengaruhi pemimpin berikutnya. Ini
semua, terangkum halus dalam Sastra jendra.
Jadi, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan ilmu gaib yang
patut dipahami seorang pimpinan. Sastra berati tulisan (ilmu) rahasia dan jendra berarti
raja (pemimpin). Hayuningrat berarti keselamatan dunia (negara). Negara akan
tenteram, manakala seorang pimpinan mampu menjalankan Pangruwating Diyu. Artinya
ilmu untuk menghancurkan nafsu angkara (diyu). Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu bermakna jika pemimpin negara berpegang pada ilmu rahasia,
yakni mampu menumpas angkara murka maka negara akan selamat. Tentu saja,
pemberantasan angkara murka harus bersikap bijak.
Termasuk dalam kategori “penghancuran” angkara murka negara kita adalah
membasmi KKN yang menjadi agenda reformasi. Karena KKN telah menjadi “budaya”
di masa orde baru, pemberantasannya pun membutuhkan “ilmu rahasia” (sastra jendra)
agar punah sampai akar-akarnya. Sebab, kalau memberantas KKN hanya setengah-
setengah atau bahkan manakala pemimpin kita (baca: penegak hukum) “main-main” –
hancur negara ini. Reformasi (akan) gagal total. Bayangkan, kalau di tengah reformasi
ini abolisi diobral kepada Soeharto, berarti angkara murka masih akan tetap bercokol.
Karena, pengadilan Soeharto akan menjadi barometer kesungguhan pemerintah
menumpas KKN.