Page 133 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 133
Kehadiran teka-teki simbolik-mistis Sastra Jendra tampak pada kisah dewi
Sukesi, anak prabu Sumali. Kisah ini termuat dalam Babad Lokapala, sebuah negara
fiktif. Awalnya, dalam cerita ini memang masalah cinta yang nampak. Yakni, ketika
Sukesi menginjak usia dewasa, telah nggarapsari, ayahnya mulai resah. Karena, sang
dewi selalu menyatakan kepada ayahnya, “ayahku, aku terima hidup sendiri selamanya
jika belum ada pria yang mampu mengupas dan menggelar makna Sastra Jendra.
Itulah mimpiku yang indah mempesona. Itu obsesi hidupku, ayah.”
Akhirnya, kecuali resi Wisrawa yang menginjak usia tua itu, tak ada yang mampu
menguraikan teka-teki misterius itu. Resi Wisrawa pun sanggup membeberkan, dengan
dalih agar Sukesi mau dijadikan isteri anaknya, Danaraja. Lalu, Wisrawa bertutur
kepada Sumali, “suruhlah anakmu ke taman yang sunyi, jauh dari segalanya. Hanya
bunga kenangan yang boleh tumbuh di sana. Sumali, demi anakku Danaraja, aku akan
menguraikan Sastra Jendra seperti permintaan anakmu.”
Pada saat suasana hening penuh kemesraan, resi Wisrawa segera
membeberkan teka-teki simbolik dewi Sukesi. Sangat hati-hati dalam memberikan
penjelasan. Lalu, sang resi berkata pelan-pelan, meyakinkan:
“Sukesi, ketahuliah bahwa pria telah memetik sekuntum bunga mekar di taman
menur. Saat itu, si perempuan samasekali sadar dan tak merasa tercuri
kesuciannya. Sebab, dengan memetik sekuntum bunga itu, berarti pria tersebut
telah membunuh dirinya sendiri sebagai seekor kumbang yang kehilangan
sengatnya. Dan ketika pria tadi mencium bibir wanita, terbukalah seluruh rahasia
hidup ini”.
Mendengar cerita itu, tentu saja dewi Sukesi terpana, penuh harap. Penuh tanda
tanya. Ia segera ingin mengetahui hakikat cinta yang sejati. Cinta yang sesungguhnya.
Maka, ia bertanya tentang cinta yang sebenarnya terletak dimana menurut paham sang
resi.
Kata Resi Wisrawa, “cinta sejati hanya ada dalam budimu. Dalam akalmu. Di situ
bersemayam cinta yang abadi.” Dari penjelasan itu, tampak bahwa budi adalah
pembimbing manusia. Budi pula yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Jika
hewan lebih mengandalkan nafsu dan insting, manusia dengan budinya tidak demikian.
Karena itu, manakala manusia sedang menjadi pemimpin – dengan akal budi dia akan
lebih arif. Tak seperti hewan yang memimpin temannya dengan keserakahan.
Sayangnya, dalam kisah tadi, Resi Wisrawa dan dewi Sukesi tak mampu
menguasai akal budi masing-masing. Keduanya larut ke dalam godaan nafsu rendah.
Bahkan, keduanya sampai jatuh ke ambang kenistaan. Akibatnya, hubungan mereka
sampai melahirkan empat orang anak yang berbeda sifatnya, yakni Dasamuka,
Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Keempat anak ini tak lain
merupakan representasi nafsu yang mengitari hidup manusia, yaitu amarah, aluamah,
supiah, dan mutmainah.
Sejak saat itu, lalu ada suara batin (nurani) yang berbicara di atas awang-awang
sebagai berikut:
“Ketahuilah anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi manusia belaka,
melainkan sebuah seruan hati yang merasa tak berdaya, memanggil keilahian
untuk meruwatnya. Kau mengira dengan kesombonganmu, kau bisa memasuki
rahasia itu? Kenyataan adalah sebaliknya, baru dengan hati manusia akan