Page 130 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 130
Di sini hubungan antara kehalusan dan kekuasaan sangat jelas; kekuasaan
merupakan penghubung pokok antara manusia alami dengan satria yang tergambar
dalam mitologi pewayangan dan tata krama kaum priayi Jawa. Dalam pikiran orang
Jawa tradisional, sifat halus itu sendiri merupakan tanda kekuasaan karena
kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan daya. Dalam legenda-legenda
dan cerita sejarah populer Jawa, satria yang ramping dan halus hampir selalu
berhasil mengalahkan raksasa, buta (makhluk mengerikan), atau "orang biadab" dari
seberang lautan. Dalam adegan-adegan perang yang khas dalam per-tunjukan
wayang, perbedaan yang menyolok antara keduanva men.jadi ,jelas sekali dalam
gerak-gerik satria yang lemah lembut, halus dan serba indah, yang hampir tidak
pemah beranjak dari tempatnya.
Kekuasaan satria yang terpusat telah menjadikan kebal. Kekebalan yang halus
ini merupakan sifat khas satria yang sangat didambakan, baik sebagai tokoh militer
maupun sebagai negarawan. Tetapi ciri khas itu hanya dapat dicapai dengan disiplin
diri sendiri yang, seperti telah kita lihat, merupakan kunci bagi akumulasi kekuasaan.
Ancaman yang paling berbahaya terhadap kekebalan ini bukanlah lawan satria itu
melainkan pamrih. Pamrih adalah suatu istilah rumit yang barangkali dapat diartikan
sebagai "motif pribadi yang tersembunyi". Artinya ialah mengerjakan sesuatu, bukan
karena tindakan itu harus dilakukan, melainkan karena kepentingan-kepentingan dan
keinginan-keinginan pribadi terpenuhi dengan melakukannya. Moto tradisional
seorang pejabat Jawa sepi ing pamrih rame ing gawe, yang masih sering disebut
oleh kaum politisi dan para pejabat Indonesia, berarti bahwa sikap yang tepat bagi
para pejabat priayi adalah menahan diri terhadap pemuasan motif-motif pribadi, dan
dalam pada itu bekerja keras demi kepentingan negara.
Di tingkat moralitas sehari-hari, pamrih adalah sifat mementingkan diri sendiri
dan membesar-besarkan diri yang dari segi sosial tidak diinginkan. Tetapi pada
tingkat yang lebih dalam, pamrih seorang pejabat atau seorang militer
sesungguhnya merupakan ancaman bagi kepentingan-kepentingannya sendiri,
karena memuaskan nafsu-nafsu pribadinya, dan karenanya nafsu-nafsu sepihak,
berarti tiadanya keseimbangan batin dan buyamya pemusatan dan kekuasaan
pribadi. Gagasan tentang pamrih merupakan motif yang selalu terdapat dalam
"moralitas" pewayangan. Pamrih itu menunjukkan perbedaan pokok antara Pandawa
dan Kurawa dalam siklus Bratayuda, dan antara Rama dengan Dasamuka dalam
siklus Ramayana. Dalam masing-masing cerita itu, pihak yang "jahat" telah
ditakdirkan untuk dikalahkan, bukannya karena kejahatan, melainkan karena "jahat"
itu berarti mengikuti nafsu pribadi, yang pada akhirnya merongrong pemusatan
kekuasaan.
Peristiwa pertama adalah pembicaraan terakhir antara Sri Batara Kresna dan
Adipati Kama, pada saat peperangan antara Panda wa dan Kurawa akan pecah, di
mana Kresna mencoba membujuk Kama untuk meninggalkan barisan Kurawa dan
berjuang di pihak saudara-saudara seibu, yaitu para Pandawa. Inti penolakan Kama
yang diucapkan dengan fasih adalah bahwa ia menolak Kresna bahwa ia
mengetahui para Kurawa telah melakukan kesalahan sepenuhnya ba dan bahwa
para Pandawa akan menang perang. Tempat segala dirinya adalah berkat
Suyudana, sesuatunya yang mengena yang terluka dari keluarga Kurawa, dan
kesetiaan tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri adalah sifat pertama seorang