Page 143 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 143

ada orang yang kelihatan kemlelet tergerak hatinya untuk mencoba kekebalannya. Ia
               pun segera menghampiri pemuda tersebut, dan menantangnya duel.
                     Tak dinyana, ternyata Bambang Sukodadi pun   mempunyai maksud yang sama,
               maka  terjadilah  perang  tanding.  Mereka  berkelahi  sangat  lama,  saling  menghantam,
               bergumul,  tarik-menarik,  tendang-menendang,  injak-menginjak,  hingga  tubuhnya
               menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian
               ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang tengah mengiringi
               Batara  Ismaya  menghabiskan  masa  resesnya  di  Ngarcapada.  Mereka  kemudiaan
               dilerai  dan  diberi  petuah  dan  nasihat  sehingga  akhirnya  keduanya  menyerahkan  diri
               dan  berguru  kepada  Smara/Semar  dan  mengabdi  kepada  Sanghyang  Ismaya.
               Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
                     Karena  wujud tampannya telah rusak gara-gara berkelai tadi, maka mereka pun
               segera berganti nama. Mereka segera datang di kantor catatan sipil; Pecruk Panyukilan
               mengubah namanya menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
               Sebuah  nama  yang  indah  dan  top  markotop  untuk  dirinya,  sesuai  dengan  bentuk
               tubuhnya.
                     Dalam kisah Ambangaun Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri
               dari  negara  Imantaka,  berhasil  mencuri  pusaka  Jamus  Kalimasada  dengan  jalan
               menyamar sebagai Gatutkaca, sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka
               tersebut.  Kalimasada kemudian menjadi rebutan  antara  negeri  Imantaka  dan   negara
               Ngamarta.
                     Di dalam kekeruhan dan kekacauan politik tersebut, Petruk yang biasa blusukan di
               kampung-kampung  itu,  mengambil  kesempatan  mencuri  Jamus  Kalimasada  ndik
               rumahnya  Dewi  Mustakaweni  ,  yang  kebetulan  tengah  pergi  ke  salon  kecantikan.
               Petruk  hafal  betul  dengan  kebiasaan  Dewi  Mustakaweni  istri  pengusaha  terkenal  itu.
               Tepat  pada  jam  8.00,  Petruk  berhasil  menyelinap  di  halaman  luas  dan  kamarnya
               Mustakaweni. Sehingga dengan leluasa, Petruk berhasil mencuri Jamus Kalimasada. Ia
               pun  segera  meninggalkan  negeri  Imantaka,  dan  segera  mensosialisasikan
               kehebatannya pada penduduk desa di negeri Lojitengara.
                     Kontan,  karena  kekuatan  dan  pengaruhnya  Jamus  Kalimasada  yang  ampuh,
               Petruk  dapat  menjadi  raja  menduduki  singgasana  kerajaan  Lojitengara  dan  bergelar
               Prabu  Welgeduwelbeh  (Wel  Edel  Bey).  Petruk  yang  dulunya  jadi  abdi  para  satriya
               Pandawa termasuk Prabu Dwarawati, atau Prabu Kresna, kini berbalik, Prabu Kresna
               dan  Pandawa  jadi  anak  buahnya.  Ya,  kalau  dalam  tv  mirip  tayangan  ‘tukar  nasib’.
               Dasar  namanya  saja  Si  Petruk,  maka  dalam  masa  pemerintahannya  penuh  dengan
               ‘lonyotan’,  banyolan  ngalor-ngidul  omongannya  ngawur,  tak  terukur,  nggak  koneks
               dengan masalah yang tengah dibicarakan. Setiap memimpin rapat hanya menyerahkan
               persoalan  pada  kabagnya.  Ia  nggak  memiliki  kompetensi   dan  nggak  nyandak
               kemampuannya dalam kontek kenegaraan yang lebih luas. Gaya ‘kepala desa’ masih
               melekat di dalam dirinya. Para kabag, dan camat dan para sarjana sejati yang dulu jadi
               atasannya,  disamakan  dengan  orang-orang  desa  yang  miskin  pengetahuannya.
               Kadang  marah-marah,  emosi  tinggi  gara-gara  mereka  nggak  segera  bekerja.”Bekerja
               apa??, lha wong programnya saja nggak nggenah” kata camat terheran-heran.
                     Prabu  Kresna,  Puntadewa,  Werkudara,  Janaka,  Nakula  dan  Sadewa  yang
               menjabat  jadi  kabag,  serta  Gathutkaca,  Abimanyu,  Antarja,  Antasena  yang  menjadi
               camat,  nampak  termangu  ,  tertawa  terpingkal-pingkal  melihat  ulah  Prabu
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148