Page 148 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 148

Konsep-konsep Hindu itupun berlanjut ketika Islam clatang  dan mempengaruhi
               konsep-konsep  kekuasaan.  Dalam  hal  ini,  Selo  Soemardjan  mencatat;  "Dengan
               demikian,  konsep  Jawa  memandang  Sultan  sebagai  seorang  yang  dianugerahi
               kerajaan dengan kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut. Namun, ini
               jelas  konsep  yang  diambil  dari  kerajaan-kerajaan  Islam  di  Timur  Tengah,  yang
               memiliki bentuk seperti itu, dan ini terjadi di Jawa abad kelima belas, ketika orang Is-
               lam pertama kali masuk ke Indonesia. Sebagaimana halnya dengan kekhalifahan dan
               kesultanan  di  timur  tengah  negara  tidaklah  memisahkan  kekuasaan  politik  dengan
               kekuasaan agama. Akan tetapi kekuasaan politik dengan kekuasaan tradisional sultan
               telah ada jauh sebelumnya, mendahului masuknya Islam di Indonesia pada raja-raja
               Mataram  dan  mendahului  raja-raja  sebelumnya  di  Jawa,  di  zaman  praIslam  dan
               bahkan di zaman pra-Hindu'".
                     Apapun  bentuknya  kemudian,  konsep  tentang  raja  di  dalam  perspektif
               kebudayaan  Jawa  merupakan  kombinasi  pengaruh  antara  ajaranajaran  Islam  dan
               Hindu-Budha.  Dalam  hal  ini  tampak  dengan  jelas  oahwa  berbagai  pengaruh  yang
               masuk,  semakin  memperkaya  konsepsi  raja.  Bahkan  semakin  memperkukuh
               kedudukannya. Karena itu tidaklah mengherankan kalau ungkapan yang terkandung
               dalam werang murba wisesa menyatakan bahwa kekuasaan absolut raja diturunkan
               dari  kekuasaan  Tuhan  dengan  menempatkan  posisi  raja  sebagai  refleksi  dari
               kekuasaan Tuhan. Meskipun demikian tinggi posisi raja, hubungan-hubungan de ngan
               rakyat tidaklah bersifat impersonal, melainkan sangat personal. Rakyat yang disebut
               kawula, dalam perspektif Jawa termasuk bagian dari suatu keluarga. Pada umumnya,
               lewat  proses  sosialisasi  nilai-nilai  yang  mengalahkan  kedudukan  raja,  rakyat  selalu
               patuh pada rajanya. Sebab dalam persepsi rakyat, raja adalah penguasa yang sah di
               dunia  fana  ini,  yang  mempunyai  kekuasaan  untuk  menentukan  perdamaian  dan
               peperangan.  Bahkan  di  samping  menjadi  panglima  perang,  ia  sekaligus  menjadi
               penguasa agama.
                     Karena  itu,  betapapun  terjadi  kegoncangan-kegoncangan  kekuasaan,  misalnya
               pecahnya  kerajaan  Mataram  menjadi  dua,  Yogyakar-ta  dan  Surakarta,  pada  tahun
               1775,  kepercayaan  rakyat  tetap  tidak  bergeming  kepada  raja.  Sikap  rakyat  yang
               semacam in], tentu saja erat kaitannya dengan nilai-nilai atau konsep supremasi raja
               yang  disosialisasikan  selama  berabad-abad.  Bahwa  raja  atau  sultan  memiliki  ke-
               kuatan-kekuatan magis yang melekat pada benda-benda suci milik raja.
                     Bahkan  sampai  sekarang,  tulis  Selo  Soemardjan,  rakyat  Yogya  tetap  percaya
               bahwa pusaka-pusaka tertentu dalam istana Sultan (keris, tombak, panji) mempunyai
               kekuatan magis, yang membantu setiap raja, yang secara sah dan kosmologis berhak
               memerintah.  Satu  hal  yang  menyebabkan  tidak  goyahnya  kepercayaan  rakyat
               terhadap  raja adalah bahwa  raja merniliki kesanggupan untuk  berhubungan  dengan
               arwah  nenek  moyangnya,  dalam  konteks  raja  Mataram  Nyi  Rorokidul,  ratu  perkasa
               dari  lautan  Hindu,  para  pelindung  surgawi  dari  gunung  Merapi  dan  gunung  Lawu  di
               Jawa Tengah, yang dianggap sebagai pelindung sultan, kerajaan, dan rakyatnya.
                     Untuk  memahami  semua  itu,  kita  harus  kembali  kepada  konsep  hubungan
               kawula Gusti, yang mempunyai makna khas dalam kebudayaan Jawa. Sebab dalam
               perspektif  itu,  kawula  Gusti  merupakan  konsep  pemahaman  makna  mistik.  Dalam
               mistik  Jawa,  kata-kata  jumbuhing  gusti  (kesatuan  manusia  dengan  Tuhan)
               menggambarkan  tujuan  tertinggi  hidup  manusia,  yaitu  pencapaian  "kesatuan"  akhir
   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153