Page 151 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 151
tinggi sebagai seorang kepala pemerintahan, menjadi raja, kepala negara ataupun
kepala daerah, sesuai kelas dan peruntukkan kerisnya.
Selain yang disebut sebagai Keris Keraton, ada juga keris-keris lain yang
mengandung di dalamnya apa yang disebut sebagai wahyu kepangkatan dan derajat,
yaitu wahyu yang akan dapat mengantarkan manusia pemiliknya kepada posisi /
jabatan yang tinggi setingkat menteri atau wakil kepala pemerintahan di dalam
pemerintahan pusat ataupun daerah, sesuai kelas dan peruntukkan kerisnya.
Keris-keris yang bersifat khusus di atas hanya patut dimiliki oleh orang-orang
tertentu saja yang sesuai dengan tujuan keris-keris itu diciptakan, bukan untuk orang
kebanyakan.
Keris-keris wahyu tersebut akan efektif bekerja hanya pada manusia pemiliknya
yang sudah memiliki wahyu kepemimpinan / kepangkatan dalam dirinya, atau sesudah
dimiliki oleh seorang keturunan yang cocok untuk menjadi wadah wahyunya. Jika keris-
keris itu sudah dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan peruntukkan kerisnya, keris-
keris itu akan memancarkan aura wibawanya dan akan dapat mengantarkan orang
tersebut kepada posisi yang tinggi sesuai dengan peruntukkan kerisnya dan akan
membantunya mengamankan posisi dan jabatannya dari gangguan atau perbuatan
orang lain yang merongrong martabat dan kewibawaannya.
Karena itulah pada masanya, mungkin juga sampai sekarang, banyak orang
memiliki pengertian yang salah, seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka-pusaka
keraton itu akan dapat menjadikannya lebih mudah menduduki tahta kekuasaan,
sehingga banyak orang yang memiliki pamrih atas pusaka-pusaka tersebut.
Padahal segala sesuatunya tergantung pada orang itu sendiri, dan tergantung
kepadanya juga apakah jiwa pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau tidak ke dalam
dirinya. Itulah yang disebut wahyu. Dan wahyu itu tidak dapat diperoleh hanya melalui
pemilikan keris saja. Untuk dapat menerima wahyu, seseorang harus menjadikan
dirinya sebagai wadah yang sesuai dengan watak dan sifat-sifat wahyunya. Karena
itulah untuk dapat menerima sebuah wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga
penuh keprihatinan dan membentuk sifat-sifat kepribadian dan perbuatan yang sesuai
dengan sifat-sifat wahyunya.
Seseorang yang memiliki sebuah keris pusaka keraton, bukanlah jaminan bahwa
orang itu akan dapat mencapai tampuk pemerintahan selama jiwa orang tersebut masih
belum luluh dengan jiwa keris-keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar
menguasai keris-keris tersebut, serta jiwa keris-keris itu telah luluh ke dalam dirinya,
barulah orang tersebut mendapatkan sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih
ada selisih kebatinan antara seseorang dengan keris-keris itu, maka selama itu pula
keris-keris keramat tersebut tidak akan berguna.
Karena itulah, meskipun seseorang berhasil menyimpan keris-keris itu untuk
dirinya sendiri, dan seandainya dia ingin meraih tampuk pemerintahan, tidak akan dapat
dicapainya dengan bantuan keris-keris itu, karena jiwa keris-keris itu tidak dapat luluh
ke dalam dirinya. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang berambisi menjadi
penguasa, walaupun mereka membekali dirinya dengan bermacam-macam pusaka,
tetapi tuah pusaka-pusaka itu tidak dapat menyatu dengan dirinya. Yang kemudian
terjadi adalah keberadaan mereka hanya membuat kacau keadaan, pemerintahan yang
tengah berjalan menjadi goyah karena digerilya oleh orang-orang tersebut. Rakyat yang
menjadi korban.