Page 155 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 155
Rakyat mempersembahkan berbagai hasil bumi, sebagai rasa hormat dan ungkapan
rasa terima kasih dan ajrih asih. Dengan demikian rasa asih dan asuh tercipta antara
pemimpin dengan yang dipimpin. Ibarat ikan dan air, singa dan hutan, atau tegal dan
rumput, menyatu saling membutuhkan seperti yang diungkapkan dalam Serat
Panittisastra.
Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin
masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat
akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang
mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep
ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Untuk mendapatkan
pulung atau wahyu, memerlukan laku, dengan mesu budi atau mesu brata, minta
kepada Hyang Agung dengan jalan berpuasa atau bertapa. Wahyu merupakan jelmaan
suara-Nya di balik suara umat manusia yang dipercaya mampu menerimanya.
Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib
hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa
memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa
menyalahkan orang lain.
D. Kepemimpinan Nyakrawati dan NJongkeng Kawibawan
Konsep kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi-
konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial, dan hubungan-hubungan luar
negeri. Moertono dan lain-lainnya telah memperlihatkan ketentuan yang hampir tidak
berubah dalam lakon-lakon wayang dan dalam tradisi historis, bahwa nama-nama
kekaisaran atau kerajaan sama dengan nama ibu kotanya. Di antara contoh-contoh
yang terkenal adalah Majapahit, Singasari, Kediri dan Demak. Memang bahasa
Jawa tidak membuat perbedaan etimologis yang jelas antara ibu kota negara dan
kerajaan itu sendiri. Kedua pengertian ini tercalcup dalam kata rcgari. Jadi negara
secara khas ditentukan, bukan oleh batas wiiayahnya, melainkan oleh pusatnya.
Luas wilayah negara selalu mengalami perubahan sesuai dengan jumlah kekuasaan
yang dikonsentrasikan di pusat. Tapal-tapal batas tertentu dan umumnya diakui
dalam praktik, umpamanya hambatan-hambatan geografis yang hebat, seperti
pegunungan dan lautan, yang juga cenderung dianggap sebagai tempat penting.
Kekuasaan raja itu diungkapkan oleh kemampuannya untuk menciptakan para
pengganti (Ian memindahkan kekuasaannya kepada mereka. Orang Jawa biasa tidak
mempunyai cara untuk mengetahui kesuburan penguasa, selain dengan mengetahui
jumlah anak yang dihasilkannya. Seandainya penguasa itu impoten atau tidak dapat
beranak, hal itu dapat dianggap sebagai tanda kelemahan politik biasa pertapa yang
kadang-kadang dilakukan penguasa, akan menjadi lebih besar artinya kalau di
samping itu vitalitas seksualnya jelas sekali. Adalah menarik bahwa dalam Iakon-
lakon wyang, sedikit disebut hubungan seksual antara para satria dengan para
mereka yang tidak langsung mengakibatkan kehamilan. Kesuburan dalam hubungan
seksual ini sampai dibawa kepada hal-hal yang lucu dalam beberapa lakon dagelan di
mana dikatakan bahwa bahkan dewa-dewa itu sendiri menjadi hamil sewaktu mereka
mandi dalam suatu kolam di mana satria Pandawa, Arjuna, sedang melakukan
sanggama di bawah kekuatan-kekuatan gaib yang besar kuasanya. Dengan