Page 156 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 156
pengecualian itu, kerajaan biasanya dianggap tidak mempunya batas-batas yang
tetap dan dipetakan; tetapi mempunyai bata batas tidak tetap dan selalu berubah.
Dalam pengertiam sesungguhnya, tapal batas politis tidak ada sama sekali,
karen kekuasaan seorang penguasa berangsur-angsur semakin lama di kejauhan
dan secara tak terasa menyatu dengan kekuasaa raja tetangga yang semakin
menanjak. Perspektif ini memperjelas perbedaan fundamental antar gagasan lama
mengenai suatu kerajaan Asia Tenggara dan negara modem yang bersumber dari
pandangan-pandanga yang sama sekali berbeda tentang arti tapal batas. Implisit di
dalam gagasan negara modem ialah konsepsi bahwa tapal batass menandai
turunnya secara cepat dan mendadak "voltase"; kekuasaan para penguasa negara
itu. Sepuluh meter di sebelahi sini tapal batas kekuasaan mereka "berdaulat";
sepuluh meter di sebelah sana dalam teori, kekuasaan mereka tidak berarti. Lagi
pula, di tempat mana pun di dalam wilayah tapal batas negara, kekuasaan pusat
secara teoretis seragam beratnya. Para warga negara yang tinggal di daerah
pinggiran kerajaan, harus mempunyai status yang sama dengan warga negara yang
tinggal di pusat, dan kewajiban-kewajiban hukum harus berlaku seragam di seluruh
daerah negara. Karena gagasan tradisional tentang kekuasaan sama sekali berbeda
sifatnya, dan gagasan untuk menerapkan kekuasaan secara seragam di seluruh
wilayah tidak ada artinya, maka konsep tapal batas terbatas sekali artinya; sifat
negara tradisional ditentukan oleh pusatnya, bukan oleh batas pinggimya.''
Sifat pemikiran Jawa tradisional yang sangat berorientasi keadaan pusat, jelas
sekali dilukiskan oleh terbaginya dunia menjadi dua jenis negara: Jawa dan sabrang
(kata yang tidak dibedakan yang berarti "seberang lautan", tetapi pada pokoknva
dipergunakan untuk tnenunjukkan semua kelompok dan satuan politik yang bukan
Jawa). Walaupun sopan-santun dan persyaratan ideologi nasionalisme Indonesia
dewasa ini teiah menjadikan pembagian seperti ini tidak dapat diterima di depan
umum, namun dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan banyak orang Jawa
masih kita dapati sisa-sisa konsepsi intelehtual ini dengan kuat dan jelas. Bahkan
demikian dalamnya gagasan itu tertanam, sehingga orang Belanda telah
menerimanya kira-kira tanpa disadarinya, dengan membagi wilayah-wilayah jajahan
mereka dengan istilah-istilah Jawa dan daerah-daerah War. Banyak orang Jawa
yang masih merasa sangat sukar sekali menerima sepenuhnya pendapat bahwa
Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau yang sederajat. dan berinteraksi, ialah
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau lain. Semua pulau itu
cenderung dipandang dalam hubungannya dengan pusatnya (Jawa). Demikian pula,
banyak orang Jawa sukar membayangkan terdapatnya dua negari, setidak-tidaknya
di Jawa. Jadi walaupun kedua kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, masing-masing
telah berdiri secara terpisah selama lebih dari 200 tahun, dan jarak antara keduanya
kurang lebih hanya 60 kilometer, banyak, orang Jawa masih biasa menggunakan
kata nega7z (unipamanya dalam kalimat: Kulo bade dateng negari, yang artinya:
Saya akan pergi ke negari) dengan maksud satu ibu kota, dan menyebut lainn,ya
dengan namanya saja, sebagaimana mereka menyebut nama kota lain mana pun di
Indonesia.'
Ajaran ini menekankan kultus ekspansi yang merupakan suatu dorongan yang
perlu untuk perjuangan mempertahankan hidup, untuk menyatakan diri serta demi
dominasi dunia, dan faktor dinamis yang diperhitungkan untuk mengganggu