Page 208 - Toponim sulawesi.indd
P. 208

Gambar 4.2.2
                 Pejabat
        Pemerintahan Poso
            era Kolonial
                 Belanda
          Sumber: Koleksi
            Tropenmuseum
                 Belanda


               Kabosenya, sebagai penguasa tertinggi tradisional di wilayah Poso. Bupati

               inilah yang menguasai keseluruhan Regentchaapen (Kabupaten). 35

                     Pada masa pendudukan Jepang juga diterapkan sistem pemerintahan

               ala  Jepang.  Kebijakan  pemerintahan  pendudukan  Jepang dengan
               dikeluarkannya  Undang-Undang  Nomor 27 dan  28 Tanggal  5 Agustus
               1942 yang mengatur sistem pemerintahan  untuk  menggantikan sistem

               pemerintahan Hindia  Belanda.  Berdasarkan  Undang-Undang  tersebut,
               Residentie digantikan dengan Ken yang dipimpin oleh seorang Shuchokan
               (dulu  Resident),  Regentschap  diganti  dengan  Ken  yang  dipimpin  oleh

               Kencho (dulu Regent/Bupati), District diganti menjadi Gun yang dipimpin
               oleh Guncho (dulu Wedana), dan Onder District diganti menjadi Son yang

               dipimpin oleh Soncho (dulu Assisten Wedana).  Sistem pemerintahan Barat
                                                          36
               yang diterapkan oleh Belanda dan Jepang memiliki perbedaan yang amat
               mendasar dengan sistem kekuasaan tradisional  di  tanah  Poso.  Sebagai

               contoh, Belanda dan Jepang kalau sudah menguasai wilayah berarti telah
               menguasai  orang di  wilayah  tersebut,  sedangkan kekuasaan pimpinan

               pribumi sebelum menguasai wilayah, orangnya dulu yang ditundukkan.

               35  Heddy Shri Ahimsa Putra, “Hambatan Budaya Dalam Integrasi Politik: Sulawesi Selatan Pada Abd Ke-
                   19,” Buletin Antropoplogi, No. 16 tahun VII/1991, hlm. 37.
               36  Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945
                   (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), hlm. 391.
   203   204   205   206   207   208   209   210   211   212   213