Page 84 - Toponim sulawesi.indd
P. 84
70 Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi
Dalam tradisi lisan suku Tombulu, Pulau Manado Tua dan sekitarnya
disebut oleh para dotu-dotu dengan sebutan “wawo un tewu” yang berarti
tanah atau pulau yang terapung di atas air. Dalam perkembangannya, “wawo
un tewu” berubah lafalannya menjadi “babontehu”. Orang-orang yang
tinggal dan atau berasal dari di pulau ini dan sekitarnya disebut “touw wawo
un tewu” atau “tou babontehu” (touw, touw = orang) (Palar, 2009: 123).
Istilah yang hampir sama tulisannya dari kata Manado, “mana-dou”,
“mana-ndou”, “mana-undou”, atau “mana-rou”, “wana-rou” memiliki arti
di jauh atau tempat yang jauh, di kejauhan (mana=di; dou atau rou=jauh).
Penjelasan mengenai jauh dimaksud ini menunjuk pada tiga pengertian, yakni
pertama, jauh, dikejauhan menunjuk pada letak pulau Manado Tua yang
dilihat dari daratan Manado yang sekarang atau negeri Wenang. Kedua, jauh,
dikejauhan dimaksud juga berarti orang-orang yang datang dari jauh atau
dari pulau Manado Tua dan pulau-pulau sekitarnya yang dilihat dari daratan
negeri Wenang atau kota Manado yang sekarang, dan ketiga, bermakna jarak
yang ditempuh orang-orang Minahasa pedalaman, turun gunung ke pesisir
pantai, di lokasi yang disebut sebelumnya sebagai negeri Wenang.
Negeri Wenang sebagai tempat bertemu, berunding untuk melakukan
dagang, tukar menukar barang (barter). Mereka datang dari kejauhan, dari
negeri-negeri seberang dan daratan sekitarnya, dan disetiap perjumpaan
diwarnai dengan sapaan “mange an isako?” yang artinya “dari mana engkau”,
biasanya akan dijawab dengan kalimat: “mange an manarow”, “mange an
manadou” atau “mange an wenang”. Kata Wenang berasal dari nama pohon
yang banyak tumbuh di lokasi ini. Jenis tanaman ini dalam bahasa latin disebut
“macaranga hispida” atau “macaranga celebica”. Tanaman kayu/pohon jenis
ini tidak ada lagi karena sering ditebang untuk diambil kayunya untuk bahan
bangunan, kemudian kulit kayu dijadikan pakaian, atau tali-temali pada jala
nelayan agar tidak cepat rusak di air laut yang asin, dan kebutuhan lainnya,
seperti kayu bakar (Parengkuan, 1986: 2-3; Kaunang, 1993: 22; Palar, 2009: 122).