Page 21 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945
P. 21
B. Kedatangan Sekutu dan perlawanan pada awal Kemerdekaan di Indonesia.
Tahun kemerdekaan merupakan tahun rentannya terhadap peperangan antara penjajah dan rakyat
Indonesia. Banyak kalangan yang ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam gengaman
penjajahan Belanda maupun Jepang. Berbagai cara dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mengusir para
penjajah dari Negara Indonesia ini. Hal-hal yang dilakukan tidak hanya sebuah perundingan saja tetapi juga
peperangan. Peperangan ini dilakukan oleh semua kalangan yang menolak adanya penjajahan tidak hanya terbatas
pada tugas dari TNI atau petugas keamanan Negara saja tetapi semua masyarakat Indonesia terlibat dalam
peperangan ini. Peperangan ini juga berlangsung cukup lama yang dilakukan sebelum dan sesudah adanya
kemerdekaan (Dwiatmika, 2018:43).
Pada mulanya berita kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Surabaya tidak dapat diketahui secara luas
dan menyeluruh oleh rakyat. Namun tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebarkannya karena radio-radio
daerah termasuk Surabaya sudah mulai menyiarkan berita tentang Kemerdekaan. Rakyat diperkotaan melihat
tentara Jepang dengan berwajah pucat pasi yang berarti bahwa mereka telah sadar dengan kekalahannya. Namun
Jepang tidak semudah itu untuk menyerah, mereka tidak hentinya untuk menolak Kemerdekaan Indonesia. Ketika
pemuda Surabaya dilanda demam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, ramai perbincangan
dengan datangnya orang Belanda dan Inggris dari rombongan Palang Merah Jakarta ke Surabaya pada
pertengahan September 1945.
Pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, Belanda membonceng NICA (Nederland Indies Civil
Administration) untuk melakukan pertempuran di Surabaya. Pertempuran di Surabaya tidak lepas dengan
peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebuatan kekuasaan dan senjata dari tangan jepang yang dimulai
pada tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan sehingga
berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif (Poesponegoro, & Notosusanto 2011: 187).