Page 25 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945
P. 25
Setelah kematian Mallaby pihak Inggris mendatangkan pasukan baru dibawah pimpinan Mayor Jendral
E.C. Mansergh. Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada Gubenur Suryo berisi
tuduhan bahwa Gubernur tidak menguasai keadaan, seluruh kota telah dikuasai oleh para ekstremis. Mereka
menghalang-halangi tugas Inggris. Akhirnya, ia mengamcam akan menduduki kota Surabaya untuk melucuti
"gerombolan yang tidak mengenal tertib hukum" itu. Ia juga "memanggil" Gubernur Suryo untuk "menghadap".
Dalam surat jawaban tanggal 9 November 1945 Gubernur Suryo membantah semua tuduhan Mansergh. Ia
mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan suratnya. Kepada utusan itu pihak
Inggris menyampaikan dua surat, satu di antaranya berisi ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya.
Ultimatum itu pada tanggal 9 November 1945. Isi dan maknanya merupakan penghinaan terhadap martabat dan
harga diri bangsa indonesia. Isi pokoknya adalah tuntutan ada semua pemimpin Indonesia, pemimpin pemuda,
kepala polisi, dan kepala pemerintahan, harus melapor pada tempat dan waktu yang ditemtukan dengan meletakan
tangan mereka di atas kepala, dan kemudian menandatangani dokumen yang disediakan sebagai tanda menyerah
tanpa syarat.
Pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris serta membawa bendera
putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945. Apabila tidak
diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan udara. Ultimatum ini ditandatangani oleh
Mayor Jendral E.C. Mansergh. Untuk menentukan sikap terhadap ultimatum ini para pemimpin di Surabaya
mengada pertemuan. Mereka berusaha menghubungi Presiden Soekarno untuk meminta instruksi mengenai
tindakan apa yang akan diambil menerima atau menolak ultimatum. Namun, mereka hanyaberhasil mengadakan
hubungan dengan Menteri Luar Negeri Mr. Ahmad Soebarjo. Menteri Luar Negeri menyerahkan "kata putus"
kepada rakyat Surabaya. Secara resmi, Gubernur Suryo melalui radio menyatakan menolak ultimatum Inggris.
(Poesponegoro & Notosusanto , 2011:193).