Page 109 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 109
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Minangkabau, perhatiannya adalah mendobrak penjara rumah tangga
yang telah membuat mereka terkurung bagai burung dan memajukan
54
rakyat Jawa dan Minangkabau secara menyeluruh.
Pada tahun 1912, berdiri Keutamaan Isteri (Tasikmalaya, 1913)
tujuannya mengadakan rumah-rumah sekolah untuk perempuan,
Sumedang (1916), Cianjur (1916), Ciamis (1917 dan Cicurug (1918).
Selain itu juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun
(1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu
(1918), Surabaya, Rembang dan lain sebagainya. Selain itu juga mulai
muncul perkumpulan kaum ibu untuk ketrampilan seperti memasak,
menjahit, merenda, pemeliharaan anak, mereka berkumpul dalam
perkumpulan Pawiyatan Wanito (Magelang 1915), Wanito Susilo
(Pemalang 1918), Wanito Hadi (Jepara 1915).
Corak pergerakan wanita dalam masa awal, pada umumnya
bergerak dalam perbaikan kedudukan dalam hidup keluarga dan
perkawinan, memperluas kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah
tangga dengan jalan memperbaiki pendidikan dan mempertinggi
kecakapan wanita. Gerak maju kaum wanita ini dilakukan dengan tidak
55
menyerang kedudukan kaum pria, dan melawan penjajah.
Meningkatnya pendidikan di kalangan masyarakat, pada tahun
1920-an perkumpulan wanita bertambah. Misalnya di Sarekat Islam
terdapat organisasi Perempuan Sosialis Sarekat Rakyat, sayap merah,
yang sebagian anggotanya bergabung dengan PKI. Diantara anggotanya
yang sangat gigih adalah Raden Sukaesih dan Munapsiah. Dalam
Kongres PKI, di Jakarta 7 -10 Juni 1924, kedua tokoh ini berbicara di
depan kongres bahwa perempuan yang tidak berjuang untuk hak-hak
mereka pasti mereka akan disisihkan oleh laki-laki dan kapitalis.
Kongres PKI tersebut menyediakan satu hari khusus membicarakan
gerakan wanita komunis. Akibat pemberontakan PKI 1927 -1927,
Sukaesih dipenjara dan dikirim ke kamp Digul.
Organisasi berdasarkan keagamaan yang penting adalah Aisiyah.
Aisiyiah dimulai sejak KH. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah, yang menginsafi perlunya bantuan perempuan
menyelenggarakan sejumlah kursus mengenai perintah agama. Pada
tahun 1914, perempuan yang hadir dihimpun dalam perkumpulan
bernama ‘Sopo Tresno’, dan baru tahun 1917 berubah namanya menjadi
56
Aisyiah dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai ketuanya. Pada tahun
1929, Aisyiah telah mempunyai 5000 anggota, tersebar dalam 47 cabang
dan 50 kring dan mempunyai 32 rumah sekolah perempuan dengan 75
guru puteri.
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 101