Page 22 - Ebook_Toponim Jogja-
P. 22
4 Toponim Kota Yogyakarta
laki-laki Hamengkubuwana I dinobatkan menjadi Pangeran Paku Alam I yang bertempat
tinggal di luar Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Kekuasaan Pakualaman meliputi wilayah
di sekitar istana (onderdistrict Paku Alam) di dalam Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Adikarto di Kulonprogo yang meliputi distrik Galur, Tawangarjo, Tawangsoko,
dan Tawangkarto (Soedarisman Poerwokoesoemo, 1985, hlm. 148-151). Dengan
demikian, di wilayah Yogyakarta terdapat Kasultanan Yogyakarta dan Pakualam yang
memiliki kekuasaan terhadap tanah-tanah di kota Yogyakarta. Pada zaman penjajahan
Hindia Belanda, wilayah yang memiliki asal-usul dengan pemerintahannya disebut
Zelfbesturende Landschappen yang setelah kemerdekaan RI disebut Daerah Swapraja.
Setelah perang Dipanegara berakhir, pada 1830, wilayah Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta dipertegas oleh Belanda melalui perjanjian Klaten pada 27
September 1830 yang ditandatangani Sunan Paku Buwana VII pada 1 Oktober 1830
dan Sri Sultan Hamengkubuwana V pada 24 oktober 1830. Berdasarkan perjanjian
itu, wilayah Yogyakarta meliputi Mataram serta Gunungkidul dan wilayah Surakarta
meliputi Pajang dan Sokowati. Batas yang ditentukan antara ke dua wilayah itu adalah
jalan di Prambanan membujur ke Utara sampai ke Gunung Merapi dan ke selatan
sampai ke Gunungkidul di kaki gunung sebelah utara. Kasunanan Surakarta masih
berhak memiliki juga tanah makam di Imogiri dan Kotagede beserta tanah 500 karya
di sekitar makam Imogiri dan kotagede. Demikian pula, Kasultanan Yogyakarta masih
memiliki hak atas tanah makam Seselo beserta tanah seluas 12 jung di sekitarnya.
Dengan demikian, wilayah Kasultanan Yogyakarta mempunyai batas-batas di sebelah
barat Karesidenan Kedu, di sebelah utara adalah Gunung Merapi, di sebelah timur
Surakarta, dan di sebelah Selatan Lautan Indonesia sebagai pembatas. Wilayah
kasultanan Yogyakarta itu menjadi permanen hingga Sultan Hamengkubuwana IX (P.J.
suwarno, 1994, hlm. 53).
Setelah pemerintah Hindia Belanda berkuasa, pada tahun 1864 tanah-tanah Kasultanan
Yogyakarta sebagian digunakan untuk membangun jaringan transportasi khususnya
kereta api untuk memenuhi kebutuhan transportasi umum dan perkebunan. Pada
tahun 1873, perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscahappij (NISM)
yang berpusat di Stasiun Lempuyangan telah membangun stasiun kecil di Ngabean
serta transportasi untuk pedagang kecil dari Pasar Beringharjo. Disamping itu, NISM