Page 7 - MH THAMRIN TOKOH BETAWI PAHLAWAN NASIONAL
P. 7
7
1. Mengurusi Banjir hingga Lapangan Sepakbola
Ketika anggota Volksraad pertama dilantik pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal
Limburg Stirum, Mat Seni alias Husni Thamrin baru berusia 24 tahun. Ketika itu,
dia belum jadi anggota dewan. Thamrin masih bekerja di perusahaan pelayaran
Belanda KPM. Dia termasuk kalangan pemuda terpelajar karena pernah belajar tiga
tahun di Gymastik KW III yang elit di zamannya.
Sejak 1915, Mat Seni sudah sering berdiskusi dengan Daan van der Zee, sekretaris
Gemeenteraad (Dewan Kota) yang membantu Thamrin memperoleh dukungan
untuk jadi anggota dewan. Salah satu topik mereka adalah pembangunan kanal
banjir untuk mengantisipasi air bah yang biasa merendam Jakarta tiap musim hujan.
Thamrin dan warga Jakarta lainnya memang punya pengalaman buruk soal banjir.
Pada 19 Februari 1918, tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal:
Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa Ke Masa (2010), banjir hampir merendam
seluruh kota. Kampung-kampung yang kena rendam antara lain Prinsenlaan, Tanah
Tinggi, Pejambon, Grorol, Kebun Jeruk, Tambora, Suteng, Klentengkepuran,
Kampung Tangki, Pekojan, Jacatra, dan lainnya. Tinggi air mencapai dada orang
dewasa.
Setelah banjir pergi, wabah kolera menjangkiti warga kampung. Setiap harinya
rumah sakit selalu didatangi penderita kolera sekitar 6 sampai 8 orang. Belajar dari
banjir ini, Thamrin yang merupakan anggota menuntut perbaikan kampung.
Berkat pengaruh van der Zee, Thamrin akhirnya berhasil masuk menjadi anggota
Dewan Kota. Sidang Dewan Kota tanggal 17 Oktober 1919 adalah sidang pertamanya.
Usianya baru 25 tahun ketika itu, sehingga ia menjadi anggota termuda. Meski telah
menjabat anggota dewan, dia masih bekerja di KPM. Dia baru keluar dari KPM pada
September 1925, ketika sudah jadi pejabat kota Jakarta.
Sebagai anggota Dewan Kota Jakarta, dirinya begitu peduli pada permasalahan
orang pribumi. Program perbaikan perkampungan orang-orang pribumi di kota
Jakarta adalah bagian dari perjuangannya. Dia melihat kesenjangan antara
kampung-kampung orang pribumi dengan jalan raya besar dan bangunan-
bangunan pemerintahan yang megah. Bangunan-bangunan itu adalah simbol kota
Jakarta, yang kala itu disebut Batavia.
"Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi dengan villa yang
luas dengan jalan lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak
berharga," kata Thamrin.
Dalam sebuah sidang, Thamrin memperingatkan pemerintah kotapraja Jakarta soal
ratusan ribu orang kampung yang hidup di lingkungan yang jorok. Sanitasi dan