Page 8 - MH THAMRIN TOKOH BETAWI PAHLAWAN NASIONAL
P. 8
8
masalah sampah mereka tak terurus. Untuk itu, Thamrin mengusulkan
penganggaran dana dari pemerintah kota hingga 100.000 Gulden untuk perbaikan
kebersihan kampung dengan mempekerjakan seratus kuli. Kuli-kuli itu nantinya
akan bergerak dari kampung ke kampung untuk mengeruk saluran air yang sudah
ada.
Usul itu didukung Schotman, Marle, dan anggota dewan pribumi. Sayangnya,
Walikota Jakarta A. Meyroos begitu perhitungan. Karena melihat kecilnya pajak
yang diperoleh dari pribumi yang tinggal di kampung, Meyroos menolak
menyisihkan anggaran yang diajukan.
Meyroos berkeras hanya menganggarkan dana sebesar 30.000 gulden untuk
kepentingan pribumi. Menurut Meyroos, program pembersihan kampung cuma
menghabiskan dana saja. Setelah bersih, keadaannya akan kembali seperti semula.
Rasa pedulinya pada masyarakat kampung juga ditunjukkan Thamrin dengan
menyediakan ruang terbuka hijau. Thamrin, menurut Alwi Shihab dalam Maria van
Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), mengeluarkan banyak uang untuk
membuat lapangan Sepakbola di Petojo pada April 1930.
Lapangan ini digunakan oleh Voetbalbond Indonesisch Jakarta (VIJ) yang berdiri
sejak 1928 dan belakangan menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta (Persija).
Di lapangan ini, VIJ dan PSSI pernah bertanding. Sukarno yang baru bebas dari
penjara Sukamiskin diminta melakukan tendangan kehormatan.
2. Anggota Volksraad yang Anti-Pemerintah
Pada 16 Mei 1927, Thamrin dilantik menjadi anggota Dewan Rakyat, setelah
bertahun-tahun jadi anggota Dewan Kota. Dengan jabatan ini, Thamrin tak hanya
mengurus Jakarta, apa yang diperjuangkannya jadi lebih luas.
Anggota Dewan Rakyat bisa hidup enak dan berkecukupan dari gaji mereka.
Namun, Thamrin dan beberapa anggota pribumi berusaha dengan serius untuk
menghapus aturan yang merugikan orang Indonesia dan berusaha membuat
gebrakan bagi perbaikan nasib mereka, meski tidak mudah.
Prestasi besar Thamrin dan koleganya untuk kebaikan orang pribumi salah satunya
adalah penghapusan Poenale Sanctie, sebuah ordonansi (undang-undang) mengenai
kuli yang muncul pada 1880 dan diperbarui pada 1889. Dalam ordonansi ini,
pemerintah kolonial memberikan wewenang kepada perusahaan perkebunan untuk
memberi hukuman pada kuli yang melanggar kontrak. Jika seorang kuli dianggap
melanggar kontrak atau malas bekerja, yang bersangkutan boleh diberi hukuman
tanpa melalui proses peradilan.