Page 45 - MODUL APRESIASI PROSA Berbasis kearifan Lokal Batak Toba
P. 45
“Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt.
Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu
Halto.
“Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang.
“Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu dengan suara lebih keras.
“Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto.
Pembantu Belanda itu memberi isyarat agar Ompu Halto disiksa.
Maka, dengan bengis dan tanpa ampun Ompu Halto dipopor, ditendang
dan dipukul dengan rotan mallo sebesar ibu jari kaki. Namun ia tetap tegar
seakan-akan tidak merasakan sedikitpun siksaan tersebut.
Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia
pernah belajar ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto adalah gelar
yang diberikan oleh masyarakat kepadanya sekalipun waktu itu ia belum
beristri dan beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena ia memiliki
ilmu yang dapat membuat badan orang yang memusuhinya menjadi gatal-
gatal. Rasa gatal itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam
badannya akan luka-luka, meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang
dapat mengobati rasa gatal itu adalah Ompu Halto sendiri dengan cara
meludahinya.
“Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada tidak
sabar.
“Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,” begitu jawaban
yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang keberadaan
Raja Sisingamangaraja. Ia tidak mau berbohong, sebab ia tahu benar, di
mana Raja Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun semakin kuat dan