Page 3 - episode-1
P. 3
Namamu Sulastri Episode I
1
NAMAMU SULASTRI
Ketika matahari merentang panas, menyentuh bumi gersang, kaki-kaki kecil itu
menapaki pematang tepian sungai. Dengan pedang bambu di tangan mereka berbaris
tak pedulikan uap air sungai panas, mengucurkan keringat.
“Pasukan kerajaan akan memasuki benteng lawan, siap berperang.”
Suara anak perempuan mungil itu melengking—memimpin tiga teman laki-
lakinya— mencoba mengalahkan deru air yang bergolak berebut keluar dari celah
sempit pintu air mengalirkan sisa hujan tadi malam.
“Siap,” sahut tiga temannya serentak.
Barisan memasuki lorong jembatan pintu air, mengendap-endap. Ting ting..
pedang diayun menebas angin tanpa lawan, tanpa darah, tanpa kalah.
“Kita menang!” teriak komandan perempuan di barisan depan. “Kita beristirahat.”
Benteng lawan yang ditaklukkan itu bangunan tua bendungan sungai. Kedua
ujung jembatan tertutup pagar kawat, hanya ada sela sempit yang memungkinkan
anak-anak menyelinap. Mereka terbiasa bermain, berkejaran, tanpa ada yang mempe-
ringatkan bahaya. Di sisi timur jembatan, air bergolak dialirkan ke muara. Ke barat
kolam dalam reservoir perusahaan daerah air minum. Terperosok ke arah manapun
mereka akan tenggelam.
Mereka terbiasa, akrab dengan alamnya. Juga buaya putih penghuni pintu air Jagir
itu, menurut cerita lama, sekali waktu menjelma menjadi manusia dan mengajak
korbannya menyelam. Buaya itu seakan bersahabat dengan Lastri, anak perempuan
pemimpin barisan dan pasukan kecilnya Abul, Najib dan Akmal— anak-anak yang
dibesarkan sampah, bercanda dengan roda kereta. Gerbong tempat mereka berteduh
dari tempias hujan dan panas matahari.
Lastri bahkan tak mengenal siapa bapaknya. Nama ibu, Lastri hanya mengenal
Mak Rosidah, meski dia tahu ibu itu bukan istri bapaknya.
Dalam kesendiriannya di bumi, jika saja tanpa ayah yang menanamkan benih dan
ibu yang meneteskan darah, Lastri adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Kelak dia akan mencari Adam-nya di Bukit Cinta Kasih.
3