Page 119 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 119
Selatan. Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya,
Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari,
Morowali, Papua, dan Papua Barat.
Said menyatakan, aksi mogok nasional ini didasarkan pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000,
khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah
merencanakan dan melaksanakan pemogokan. "Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang
akan kami lakukan adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," tegas Said.
Said menuturkan, dalam mogok kerja tersebut, buruh juga akan menyuarakan berbagai tuntutan
menyusul lahirnya UU Cipta Kerja. Antara lain, buruh menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa
syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan. Selain itu, buruh meminta
nilai pesangon tidak berkurang.
Buruh juga menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak
seumur hidup. Kemudian, buruh juga menolak adanya outsourcing seumur hidup, waktu kerja
yang eksploitatif serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.
Buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapatkan jaminan kesehatan
dan pensiun. "Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha dan TKA
harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," terang Said.
Sikap penolakan juga ditunjukan kalangan akademisi yang berasal dari 30 perguruan tinggi. Para
akademisi ini menolak UU Cipta Kerja karena menabrak banyak aturan, bahkan nilai-nilai
Pancasila. "Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi
(UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga cacat dalam prosedur
pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.
Dalam pandangan para akademisi ini, setidaknya ada lima permasalahan mendasar dalam UU
Cipta Kerja. Pertama, masalah sentralisasi yang dianggap menyerupai kondisi Orde Baru. Sebab,
terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan
peraturan Presiden.
Kedua, UU Cipta Kerja anti-lingkungan hidup di mana terdapat pasal-pasal yang mengabaikan
semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis
risiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat. Ketiga, persoalan liberalisasi pertanian.
Dalam aturan tersebut, tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik.
Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM). Pada pasal-pasal tertentu hanya
mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-
nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja
perempuan, hingga hak warga.
Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Sebab, konsep Omnibus Law tidak diatur
dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai
prosedur. Terlebih, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga
sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hingga Senin (5/10/2020), pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda
tangan penolakan.
118