Page 434 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 434
Perwakilan Rakyat (DPR) tidak partisipatif. Akibatnya, muatan dalam aturan itu tidak
mencerminkan kebutuhan publik.
"Proses pembentukan RUU yang tidak partisipatif ini melanggar prinsip kedaulatan rakyat
sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dan jelas tidak mencerminkan asas keterbukaan
sebagaimana Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011," tulis Rahmah dalam keterangan resmi yang
diterima jpnn, Senin (5/10).
Misalnya, kata dia, pembahasan aturan sapu jagat itu tidak partisipatif dan cenderung eksklusif.
DPR tampak pilah-pilah untuk menghadirkan para pihak guna didengarkan keterangannya dalam
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Badan legislatif (Baleg) DPR hanya melaksanakan RDPU dengan pihak Kamar Dagang dan
Industri (Kadin). Baleg DPR tidak banyak berbicara dengan pekerja ketika membahas Omnibus
Law RUU Ciptaker.
"Seharusnya RDPU dilakukan juga dengan para pekerja, sehingga perumusan pasal krusial dalam
kluster kenegatakerjaan RUU Cipta Kerja dapat menyerap aspirasi pihak yang akan diatur,"
ungkap dia.
Selain tidak partisipatif, kata Rahmah, Omnibus Law RUU Ciptaker berisikan muatan yang
inkonstitusional.Perubahan substansi aturan tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh dan
masih menyisakan beberapa substansi bermasalah.
"Isu-isu yang justru penting dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara
teracuhkan," beber dia.
Kemudian, kata dia, Omnibus Law RUU Ciptaker secara jelas menghapuskan kewenangan daerah
untuk mengurus urusan daerahnya sendiri.
Hal ini, kata dia, terlihat dari skema pemberian izin yang sentralistis yang hanya dapat dilakukan
oleh pemerintah pusat dan daerah hanya diberikan fungsi pengawasan saja atas hal tersebut.
Namun, dia merasa ragu pemerintah pusat siap menangani seluruh perizinan di seluruh daerah
Indonesia, ketika sentralisasi diterapkan.
Toh, ujar dia, ketentuan sentralisasi jelas melanggar Pasal 18 ayat 2 UUD 1945. Kemudian tidak
sejalan dengan tujuan utama kebijakan politik setelah Orde Baru serta mencederai eksistensi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
"Di sisi lain, pemerintah daerah yang sebenarnya mengerti keadaan dan kondisi masing-masing
daerahnya dan dapat membuat keputusan mengenai pemberian izin atas suatu kegaiatan di
daerah tersebut," ungkap dia.
Berikutnya, kata Rahmah, RUU Cipta Kerja justru tidak menjamin kepastian hukum dan jauh dari
cita-cita reformasi. Sebab, ujar dia, banyaknya pendeligasian pengaturan lebih lanjut pada
peraturan pemerintah.
"Dikhawatirkan pembentukan peraturan pemerintah memakan waktu yang lama serta
menghambat pelaksanaan segala kegiatan yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja," tutur dia
"Ini merupakan potret nyata bahwa RUU Cipta kerja tidak menjamin kepastian hukum
sebagaimana dimandatkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," beber dia..
433