Page 438 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 438
menjadi undang-undang oleh DPR tentunya sangat disayangkan, mengingat UU Cipta Kerja
memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya,"
kata Araf dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Pertama, ia menilai proses penyusunan UU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur, karena dilakukan
secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil.
Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan di tengah konsentrasi seluruh elemen bangsa yang
tengah berfokus menangani pandemi Covid-19.
Ia pun mengatakan draf UU Cipta Kerja tidak disosialisasikan secara baik kepada publik, bahkan
tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas.
Hal itu menurut dia merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89 jo. 96 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan
pemerintahmembuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.
Lebih jauh, Satgas omnibus law RUU Cipta Kerja bentukan pemerintah yang sebagian besar
berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha juga dinilai eksklusif serta tidak
mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak UU.
Kedua, ia mengatakan, secara substansi UU Cipta Kerja memiliki banyak pasal yang bermasalah.
Salah satunya adalah terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Contohnya adalah terdapat pasal yang mengatur tentang Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat
digunakan untuk mengubah UU.
Hal itu menabrak ketentuan konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal
7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan
lebih rendah dibandingkan UU.
Kemudian ia menilai masih banyak masalah lain di dalam UU Cipta Kerja , seperti dalam aspek
ketenagakerjaan yang menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti tentu yang merugikan para
pekerja atau buruh di Indonesia. Sama halnya dengan pemangkasan uang pesangon dari 32
bulan menjadi 25 bulan. Hal itu menurut dia sangat merugikan para pekerja atau buruh.
Selain itu dalam aspek pengadaan tanah bagi kepentingan investasi, ia menilai hal tersebut
berpotensi merugikan petani di Indonesia.
Lalu pada aspek lingkungan hidup, masyarakat juga dirugikan karena UU Cipta Kerja
menghapus analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai syarat wajib izin usaha.
"Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melanggar hak-hak
konstitusional warga negara, merugikan para pekerja/ buruh, merugikan petani, merugikan hak-
hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," kata Araf.
"Atas dasar tersebut, Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan UU Cipta Kerja
(Omnibus Law) di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni
dilakukan secara tertutup dan di tengah konsentrasi mengatasi pandemi Covid-19," lanjut dia
Melalui Rapat Paripurna hari ini, DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
UU Cipta Kerja dibahas melalui 64 kali rapat sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020. UU ini terdiri
atas 15 bab dan 174 pasal. Hari ini sekaligus merupakan rapat paripurna penutupan Masa
Persidangan I 2020-2021. DPR memasuki masa reses mulai 6 Oktober hingga 8 November.
(kompas.com/rakhmat nur hakim).
437