Page 247 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 JUNI 2021
P. 247
terealisasi. Ini ditandai dengan lahirnya UU SJSN yang memosisikan jaminan sosial sebagai hak
konstitusional dengan basis gotong-royong seluruh rakyat Indonesia.
Implementasi Jaminan Sosial
Dengan instrumen jaminan sosial diharapkan nilai-nilai Pancasila ter-implementasi, khususnya
sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun pelaksanaan jaminan sosial selama
ini belum ' sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pelaksanaan |||I j program Jaminan
Kesehatan Nasional(JKN),dariaspek '
regulasi operasional d^n implementasinya, belum menjamin akses rakyat mendapat pelayanan
sepenuhnya. Ada pelayanan kesehatan yang sebelumnya dijamin JKN, tetapi dihapuskan di
Peraturan Presiden Nomor 82/ 2018 sehingga korban tindak pidana penganiayaan, * kekerasan
seksual, korban terorisme, dan tindak pidanaper-dagangan orang tidak dijamin
lagi oleh JKN. Demikian juga ada beberapa jenis obat yang sebelumnya dijamin, tetapi kemudian
dikeluarkan dari formularium nasional sehingga tidak dibiayai lagioleh JKN.
Masih banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan karena sulit mengakses
menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI), baik yang dibiayai pemerintah pusat atau daerah.
Pandemi korona (Covid-19) pun mendorong penduduk miskin meningkat. Menurut Data
BPS,persentase pendudukmis-kin perkotaan pada Maret2020 sebesar 7,38%, naik menjadi
7,88% pada September 2020.
Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2020 sebesar 12,82%,
naikmenjadi 13,20% pada September 2020. Rakyat miskin pun yang didaftarkan ke PBI kerap
dinonaktifkan sepihak tanpa pemberitahuan sehingga tidak bisa digunakan di fasilitas kesehatan.
Demikian juga rakyat miskin yang didaftarkan ke PBI tidak langsung terinfor-masikan sehingga
mereka tidak tahu bahwa sudah |b menjadi peserta PBI. Kualitas komunikasi pemerintah dan
peserta PBI relatif rendah.
Pasien JKN pun kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif karena fasilitas kesehatan lebih
menyukai pasien
umum,masih ada yang dimintai bayaran, disuruh membeli obat sendiri, diminta pulang dalam
kondisi belum layak pulang, dan sebagainya. Perlakuan tersebut sudah terjadi sejak awal
beroperasinya JKN hingga saat ini, tetapi belum mampu ditangani secara sistemik.
Pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan pun diwarnai oleh perlakuan diskriminatif.
Jaminan pensiun (JP) dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) hanya bisa dinikmati oleh pekerja
penerima upah, sementara pekerja migran Indonesia (PMI), pekerja bukan penerima upah
(PBPU), dan pekerja jasa konstruksi (ja-kon) yang juga peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan
tidak mendapatkan dua program ini. Padahal manfaat kedua program tersebut sangat
dibutuhkan dan akan mendukung kesejahteraan PMI, PBPU, danjakon.
Pekerja informal miskin yang memang sangat membutuhkan program jaminan kecelakaan kerja
(JKK) dan jaminan kematian (JKm) belum juga didaftarkan oleh pemerintah sebagai peserta PBI
di BPJS Ketenagakerjaan. Kecelakaan kerja yang mereka alami sering tidak mendapatkan
jaminan JKN lagi karena kecelakaan kerja dianggap sebagai tanggung jawab BPJS
Ketenagakerjaan, padahal mereka belum menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini yang
menyebabkan pekerja miskin yang mengalami
kecelakaan kerja akan mengalami kesulitan untuk pembiayaan kuratifnya.
Pelaksanaan program JKK dan JKm bagi aparatur sipil negara (ASN) dan TNI-Polri seharusnya
diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
246