Page 243 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 JUNI 2021
P. 243
Dia mengatakan pemerintah juga mesti membuat regulasi bersama yang menjamin upah dan
insentif minimum, proses mekanismenya, serta jam kerja. Regulasi terkait, lanjutnya, harus
disertai dengan hadirnya infrastruktur pendukung.
Dalam kasus pekerja mitra di perusahaan ride-hailing misalnya. Timboel menyebut perlu ada
semacam kehadiran infrastruktur pendukung, seperti misalnya tempat servis gratis bagi pekerja
mitra di aplikasi seperti Gojek dan Grab sebagai bentuk lain dari subsidi.
Lebih jauh, dia mengkritisi pemerintah yang selama ini dinilai hanya memusatkan perhatian
kepada pekerja di sektor formal. Sementara itu, sambungnya, pemerintah seharusnya melihat
angkatan kerja di Tanah Air secara keseluruhan, baik formal, informal, maupun mitra.
Perlu diketahui, jumlah pekerja informal berbasis kemitraan lebih dominan dalam porsi angkatan
kerja Indonesia. Dari 130 juta angkatan kerja, 42 persen di antaranya merupakan pekerja formal.
Sisanya pekerja informal dan mitra.
"Terlebih, sampai dengan saat ini para pekerja berbasis kemitraan belum tidak diatur jam
kerjanya," kata Timboel.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih mengingat jumlah pekerja mitra kian
bertambah. Pada saat yang sama, penambahan pekerja yang bekerja di sektor informal justru
minim perlindungan dari sisi regulasi.
Dari sisi insentif, kata Timboel, mereka juga tidak diatur oleh pemerintah. Hal tersebut harus
disertai dengan peran pemerintah. "Saya mendorong pemerintah untuk memastikan
kesejahteraan pekerja mitra. Agar perusahaan aplikator tidak seenaknya mengotak-atik
pendapatan mitra. Tidak sehat," tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana mengatakan ketiadaan regulasi
membuat pekerja mitra tidak memiliki ruang untuk melakukan perundingan industrial.
Perusahaan, lanjutnya, hanya memberikan opsi tidak populer: 'kalau mau menerima kondisi yang
seperti sekarang silakan menjadi mitra. Kalau sebaliknya, tidak usah menjadi mitra'.
Pemerintah pun, lanjutnya, diharuskan mengambil inisiatif untuk mengatur hal tersebut. Inisiatif
tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian kepada seluruh pemangku kepentingan,
apakah nasib para pekerja mitra tidak berubah, atau diberikan hak yang sama seperti halnya
pekerja formal.
"Kalau perusahaan tidak mau berunding, bisa dadukan ke pengadilan. Jika ada efisiensi secara
sepihak. "Jadi, akan lebih baik jika mengambil langkah hukum," ujar Payaman, Rabu (9/6/2021).
Dihubungi terpisah, Kementerian Ketenagakerjaan siap mengambil langkah tegas berupa sanksi
terhadap perusahaan yang mempekerjakan pekerja mitra. Pelanggaran terhadap hak-hak mitra
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro
Putri mengatakan pelanggaran terhadap perjanjian kemitraan yang menimbulkan perselisihan
juga dapat selesaikan secara keperdataan, yakni melalui gugatan perdata di pengadilan.
"Terkait dengan pengawasan hak-hak pekerja yang terikat dalam hubungan kerja dengan
perusahaan aplikasi, dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan," ujarnya kepada Bisnis, Rabu
(9/6/2021).
Dia menambahkan, apabila perusahaan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan, dapat dikenakan sanksi pidana atau sanksi
administratif tergantung pada jenis pelanggarannya.
242