Page 120 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 OKTOBER 2020
P. 120
KETAR-KETIR MENYONGSONG DUNIA KERJA
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat menjadi
undang-undang membayangi pencari kerja. Mereka khawatir aturan ini menyulitkan pekerja
meraih kesejahteraan. Dalam kegalauannya, sebagian dari mereka menyiapkan siasat agar dapat
terhindar dari kecemasan yang dipikirkannya.
Sebulan belakangan, Lathifah (22) rutin mengecek lowongan pekerjaan di platform Linkedln,
Jora, JobStreet, dan Indeed. Calon wisudawati salah satu perguruan tinggi di Bandung, Jawa
Barat, ini mengincar pekerjaan di bidang editorial dan kebahasaan yang sesuai dengan jurusan
kuliahnya.
Ia kembali mengasah kemampuan bahasa Inggris yang menjadi salah satu syarat bidang kerja
yang diincarnya. "Aku sering ngobrol sama ibu menggunakan bahasa Inggris. Aku juga sedikit-
sedikit belajar bahasa Korea, dibantu teman-teman dari jurusan bahasa Korea," ucap Latifah,
Rabu (7/10/2020).
Latifah tak memungkiri, terkadang timbul keraguan dalam benaknya ketika mengirimkan
lamaran dan belajar bahasa asing. Kalau sudah begitu, akan banyak pertanyaan terlontar kepada
diri sendiri tentang kemampuan dan kesiapannya untuk bekerja.
Belum usai dengan hal-hal itu, tiba-tiba DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta
Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang. Polemik pun muncul karena sejumlah pasal
terkait ketenagakerjaan. "Gak terbayang nanti bakal seperti apa dunia kerja setelah RUU Cipta
Kerja diterapkan," ujar Latifah.
Ia takut akan bekerja seperti yang pernah teijadi pada orangtua dan kenalannya. Ayahnya tidak
dibayar selama lima bulan seusai mengerjakan suatu proyek, ibunya tidak digaji sesuai upah
minimum regional (UMR), dan gaji kenalannya acap kali molor. Ketakutan kian bertambah karena
aturan upah minimum dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 88A-88E RUU Cipta Kerja, gubernur tidak harus menetapkan upah minimum
kabupaten/kota (UMK), hanya upah minimum provinsi (UMP). Gubernur, dalam Pasal 88C dapat
menetapkan UMK dengan syarat tertentu, yakni mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan
inflasi di daerah tersebut. Hal ini berbeda dengan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan yang
menyebutkan komponen upah minimum diatur terdiri dari UMP atau UMK dan upah minimum
berdasarkan sektor pada provinsi atau kabupaten/kota.
Sementara itu, setelah enam bulan melamar ke sana-sini, akhirnya Fitria Widiastuti (22) diterima
sebagai staf legal di perusahaan swasta nasional. Warga Tangerang Selatan, Banten, ini akan
menjalani masa uji coba selama tiga bulan ke depan.
Pikirannya ke mana-mana setelah membaca poin-poin yang dinilai merugikan pekerja di RUU
Cipta Kerja, seperti upah kecil, pesangon berkurang, dan cuti untuk perempuan. RUU itu tidak
mencantumkan tentang cuti untuk perempuan. Berbeda dengan UU Ketenagakerjaan dalam
Pasal 81-83 yang mengatur perempuan tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid,
istirahat selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan serta keguguran, dan menyusui
anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Adapun Michael Hananta (22) sebentar lagi akan lulus dari Institut Teknologi Bandung.
Rutinitasnya belakangan ini, antara lain, memoles curriculum vitae, Linkedln, latihan menulis
motivation letter, dan belajar teknik wawancara.
Di sela-sela itu, perhatiannya tertuju pada RUU Cipta Kerja. Kekhawatiran muncul karena
penghapusan batas waktu kontrak dan tidak ada pendefinisian jam kerja sehingga ada potensi
119

