Page 99 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 OKTOBER 2020
P. 99

Beberapa  jam  setelah  Rancangan  Undang-Undang  (RUU)  Cipta  Kerja  disahkan  menjadi  UU,
              Senin  (5/10),  Menteri  Tenaga  Kerja  Ida  Fauziyah  merilis  surat  terbuka.  Isinya  antara  lain
              mengajak serikat pekerja untuk tidak menggelar aksi mogok di tengah pandemi Covid-19.

              Di  dalam  surat  terbuka  yang  diunggah  di  akun  Instagram  Kementerian  Tenaga  Kerja
              (Kemenaker), Ida menuturkan pihaknya berupaya mencari titik keseimbangan antara melindungi
              yang  telah  bekerja  serta  memberi  kesempatan  kerja  kepada  jutaan  orang  yang  masih
              menganggur dan tidak punya penghasilan.

              "Saya  meminta  agar  dipikirkan  lagi  dengan  tenang  karena  situasi  jelas  tidak  memungkinkan
              untuk  turun  ke  jalan,  untuk  berkumpul.  Pandemi  Covid-19  masih  tinggi,  masih  belum  ada
              vaksinnya," ucapnya.

              Dia mengajak serikat pekerja untuk menjaga kesehatan dan nyawa keluarga di rumah. Bahkan
              sebelum  UU  Cipta  Kerja  disahkan,  sejumlah  serikat  pekerja  memang  sudah  menyampaikan
              rencana aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020.
              Presiden Konfeiederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan setidaknya 32
              federasi dan konfederasi serikat buruh, dengan jumlah kurang lebih 2 juta buruh, siap menggelar
              unjuk rasa serempak di 25 provinsi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

              Rencana demonstrasi ini pun sebenarnya tidak mendapatkan izin dari Kepolisian. Kapolri Jenderal
              Polisi  Idham  Azis  telah  memerintahkan  seluruh  personelnya  untuk  tidak  memberikan  izin
              keramaian  kepada  panitia  aksi,  seperti  tertuang  dalam  Surat  Telegram  Rahasia  bernomor
              STR/645/X/ PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020.

              Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menjelaskan surat itu berisi antisipasi Polri
              terhadap unjuk rasa yang dapat berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan
              hukum masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

              "Ya, benar telegram itu, sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, di
              tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi," tuturnya, Senin
              (5/10).

              Di sisi lain, tampaknya alasan risiko kesehatan tidak dipukul rata untuk semua agenda, misalnya
              Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.

              PILKADA 2020
              Pilkada  2020  akan dilangsungkan  pada  9  Desember  2020. Tercatat  ada  270  daerah, baik di
              tingkat  kabupaten/kota  maupun  provinsi,  yang  bakal  melaksanakan  hajatan  politik  ini.
              Perinciannya,  9  provinsi,  224  kabupaten,  dan  37  kota.  Sejumlah  pihak  sebenarnya  sudah
              meminta pemerintah untuk menundanya karena kondisi yang tidak mendukung. Lembaga Ilmu
              Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah beberapa di
              antaranya.

              Ketua PBNU Said Aqil Siradj meminta pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk
              menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 atas nama rasa tanggung jawab dan kemanusiaan.
              Dia  menekankan  agenda  politik  dapat  ditunda  saat  pandemi  Covid-19  berlangsung,  tetapi
              keselamatan nyawa tidak dapat dikesampingkan. Adapun pemerintah beralasan Pilkada 2020
              mesti tetap digelar demi mencegah ketidakpastian saat masa jabatan kepala daerah habis. Jika
              ada  kekosongan  kekuasaan  di  daerah  terkait  karena  Pilkada  diundur  atau  batal,  maka
              pemerintah harus mengangkat pelaksana tugas (Plt).

              Menteri  Koordinator  Bidang  Politik  Hukum  dan  Keamanan  (Menkopolhukam)  Mahfud  MD
              menyatakan  Plt  tidak  memiliki  kewenangan  layaknya  kepala  daerah  definitif  dan  tidak  bisa

                                                           98
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104