Page 508 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 508
Dosa pertama adalah kekuasaan yang sombong. Feri menilai pemerintah menjadi sentralistik
kekuasaan seperti Orde Lama dan Orde Baru.
UU Cipta Kerja , menurut dia, jauh dari cita-cita reformasi karena meletakan kekuasaan yang
terpusat pada pemerintah pusat, melalui pembentukan ratusan peraturan pemerintah (PP),
terutama izin usaha hingga penyelenggaraan penataan ruang.
Dosa kedua adalah ketamakan para pebisnis. Feri mengatakan UU Cipta Kerja hanya
memprioritaskan kemudahan bagi investor. Sebab, pebisnis cukup menggunakan pendekatan
kepada pemerintah pusat yang menentukan segala hal. "Khas UU Cipta Kerja terkait kemudahan
bagi para pemilik modal bisnis yang juga terjadi di negara-negara dunia ketiga," ujarnya.
Dosa ketiga adalah iri terhadap kuasa pemerintahan daerah. Feri mengatakan bahwa UU Cipta
Kerja memperlemah kekuasaan pemerintah daerah yang menjalankan prinsip otonomi.
Termasuk izin usaha di daerah, tata ruang desa, penentuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dosa keempat adalah rakus. UU Cipta Kerja, kata Feri, akan menimbulkan ketimpangan
keuangan pusat dan daerah. "Makin patuh daerah kepada pemerintah pusat berpotensi akan
menikmati dibandingkan daerah yang bukan partai pemerintah," katanya.
Menurut Feri, seluruh sumber daya alam yang ada penentuan perizinannya melalui pemerintah
pusat. Bahkan, seluruh bisnis, contoh bisnis di wilayah pesisir, mulai dari garam hingga
pariwisata diambil pemerintah pusat. Izin berusaha bagi masyarakat lokal dan tradisional hanya
terkait kebutuhan hidup sehari-hari, hal itu dikecualikan bagi masyarakat hukum adat Dosa
kelima adalah nafsu pemodal asing. Feri mengungkapkan bahwa pulau-pulau di Indonesia dapat
dikelola melalui penanaman modal asing berdasarkan kepentingan pusat. Padahal, asetnya
adalah milik daerah. Hal ini tercantum dalam Pasal 26A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam
UU Cipta Kerja.
Dosa keenam adalah kemalasan bertanggungjawab. Feri memandang bahwa UU Cipta Kerja
menghapus tanggung jawab perusahaan pembakar hutan. Kebakaran hutan yang menjadi
persoalan tiap tahun, kata dia, akan diperparah karena tidak ada lagi sanksi yang dijatuhkan
kepada perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan.
Dosa ketujuh adalah marah terhadap rakyat yang punya lahan sendiri. UU Cipta Kerja
menghapus syarat ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan
sebagai lahan pertanian. Sehingga dengan alasan demi kepentingan umum maupun kebutuhan
investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah.
"Hal ini akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria akibat perampasan lahan (Pasal 44 UU
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja)," ucap Feri.
Dengan mempertimbangkan 7 dosa tersebut, Feri menuntut agar UU Cipta Kerja ditarik dan
dibatalkan dengan membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden yang mengusulkan UU tersebut.
507

