Page 503 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 503
Sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra,
Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
SUDAH DISAHKAN DPR, BISAKAH UU CIPTA KERJA DIBATALKAN? BERIKUT
PENJELASANNYA
, JAKARTA - Rapat paripurna DPR RI pada Senin (5/10/2020) menghasilkan pengesahan
omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).
Sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra,
Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak pengesahan UU Cipta
Kerja .
Pengesahan tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, bahkan memicu aksi
demonstrasi di berbagai kota.
Lantas, apakah omnibus law UU Cipta Kerja bisa dibatalkan? Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri
Susanti, mengatakan tidak ada cara untuk membatalkan UU Cipta Kerja .
"Intinya ya kalau sudah diketok seperti ini, tidak ada lagi. Tidak ada lagi sama sekali cara untuk
membatalkan," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/10/2020).
Namun, lanjut dia, kalau di atas kertas, terdapat cara dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan
Permerintah Pengganti Undang-Undang).
"Perppu juga bukan membatalkan, tapi membuat materi muatan UU baru dalam bentuk Perppu
menggunakan kekuasaan Presiden untuk mengeluarkan Perppu, 'bila ada hal ihwal kegentingan
memaksa'," ujar Bivitri.
Sehingga, Perppu juga bukan prosedur biasa, harus abnormal dengan alasan kegentingan
memaksa.
"Jadi sebenarnya enggak ada mekanisme (pembatalan) itu," tuturnya.
Bivitri melanjutkan, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menuliskan proses pembentukan Perppu mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Ia menjelaskan, Perppu merupakan wewenang khusus Presiden berdasarkan Pasal 22 Konstitusi
dan dalam hal ihwal kegentingan memaksa, dan tidak termasuk "prosedur tambahan".
Sementara, dalam hal mengajukan permohonan uji materi atau judicial review terhadap UU ke
Mahkamah Konstitusi (MK) , ia mengatakan juga bukan bersifat "membatalkan".
"Kalau MK itu menguji inskonstitusionalitas, dan belum tentu juga hakim setuju," ujarnya.
Uji yang dilakukan di MK dapat berupa uji formil dan uji materil.
Dia menjelaskan uji formil terkait dengan cara pembahasan, sementara uji materil berhubungan
dengan pasal-pasal di dalamnya apakah konstitusional atau tidak.
502

