Page 150 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 FEBRUARI 2021
P. 150
Tentu unrealized loss BP Jamsostek itu tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BP
Jamsostek dari saham dan reksa dana itu. Bahwa ada unrealized loss, itu benar, tergantung
pasar saham ke mana geraknya, naik atau turun.
"Lazimnya pasar saham, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Jika kondisi baik, ekonomi baik,
kemungkinan harga saham juga bergairah. Sebaliknya, kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti
di awal-awal pandemi Covid-19, Maret 2020 lalu, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai
membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali terbang," tambah Chairman Infobank
Institute Eko B Supriyanto.
Hal tersebut lanjut Eko, bisa dilihat dari realisasi unrealized loss yang selalu berubah-ubah,
seiring naik dan turunnya harga saham. Penambahan unrealized loss hanya sebesar, Rp 5,8
triliun. Sedangkan hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp 137,2
triliun dan Rp 33 triliun dari reksa dana dan saham.
Oleh sebab itu ujarnya perlu ada investor sebesar BP Jamsostek. Pasalnya, dalam periode 2016-
2020 dana investasi meningkat Rp 280,3 triliun atau 136%. "Anggap ada sekitar Rp 120 triliun
masuk ke pasar. Seandainya tidak ada BP Jamsostek dan asuransi-asuransi lain, akan sangat
mempengaruhi," terangnya.
Melihat hal tersebut, sangat disayangkan jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI, hanya karena
atas laporan masyarakat ini bisa kontra produktif bagi pengembangan pasar modal. Pasalnya,
salah satu dampak itu akan menebar 'ketakutan' tidak hanya bagi BP Jamsostek sendiri, tapi ke
lembaga lain, terutama kepada direksi yang mengurus investasi. Bagi profesional, jangankan jadi
tersangka, diperiksa saja, sudah 'panas dingin'.
Dampak serius lainnya, pasar modal menjadi sepi, karena berinvestasi di pasar saham
menakutkan, penuh risiko ancaman dikriminalisasi. Dan, direksi akan 'main' aman di instrumen
deposito yang sudah tentu yield-nya kecil yang tidak menarik bagi peserta BP Jamsostek. Semua
akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah.
"Semoga kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak bergerak liar, merembet ke instansi lain yang
mengurus investasi. Kasus Jiwasraya dan Asabri tidak dijadikan preseden bagi semua, harus
dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamakan, meski dari luar sama, harus dilihat proses, dan
saham-saham yang dikoleksi BPJS-TK kelas LQ-45, tidak ada saham gorengan. Harus dibedakan
kerugian karena risiko bisnis dan korupsi, dan dalam hal ini BPJS-TK karena risiko bisnis yang
belum direalisasi. masih punya peluang reborn," tutup Eko.
Editor : Aris Cahyadi (aris_cahyadi@investor.co.id).
149