Page 104 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 NOVEMBER 2020
P. 104
Penjelasan di atas sebenarnya bisa saja dikaitkan dengan infrastruktur oposisi pemerintah saat
ini. Dalam artian, ketimpangan untuk mengimbangi kekuatan politik koalisi pemerintahan
membuat oposisi "mati suri" dalam mengawal seluruh kebijakan pemerintah. Selain karena
memiliki kursi yang sangat terbatas, oposisi masih dipandang sebagai pihak yang kerap
mengganggu kinerja pemerintah. Efeknya, oposisi tidak bisa mengapitalisasi ketidakpuasan
publik terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Akuntabilitas Politik
Namun, satu hal yang pasti, gejolak publik yang diwarnai berbagai demonstrasi oleh mahasiswa
merupakan bentuk koreksi terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, ketika oposisi kehilangan
tekanannya untuk mengoreksi, publik patut bangun dari tidur nyenyaknya guna menggugat
akuntabilitas terhadap publik.
Akuntabilitas merupakan prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan fungsi pemerintahan tidak
hanya di tingkat nasional, tapi juga lokal. Prinsip akuntabilitas tidak berjalan sendiri, namun
dihubungkan juga dengan prinsip yang lain. Misalnya, transparansi, efektivitas dan efisiensi,
partisipasi masyarakat, persamaan, responsivitas, pelaksanaan aturan hukum, konsensus
bersama, dan visi strategis (UNDP, 1997).
Dalam teori perwakilan, akuntabilitas mengacu kepada orang (pemerintah dan legislator). Dalam
konteks ini, akuntabilitas merujuk pada konsistensi pemerintah dalam melaksanakan aturan yang
dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik (Yoserizal, Tovalini, 2012). Begitu juga secara
konstitusi, tanggung jawab yang ingin diwujudkan dalam menyelenggarakan fungsi
pemerintahan adalah dalam rangka menguatkan legitimasi para pelaksana dan pembuat
kebijakan publik (Turner & Mark, 1997). Oleh karena itu, akuntabilitas sangat diperlukan untuk
mempertanggungjawabkan semua kebijakan pemerintah, termasuk dalam proses legislasi.
Persoalannya, pemerintah kerap mengabaikan akuntabilitas. Pemerintah merasa bahwa publik
tidak perlu akuntabilitas, baik secara politik maupun etik. Sebab, publik sudah memiliki
perwakilan di DPR yang otomatis meminta pertanggungjawaban. Namun, pandangan ini menjadi
problematis ketik mayoritas perwakilan diDPRmen-jadi koalisi pemerintah. Konsekuensinya, ada
beberapa hal yang lantas terabaikan.
Pertama, pemerintah lebih dominan dalam pengambilan keputusan politik serta mengabaikan
partisipasi publik. Kedua, masyarakat kehilangan kesempatan untuk melembagakan
partisipasinya dalam menyusun berbagai kebijakan. Ketiga, hilangnya keterlibatan aktor sosial
dalam mengawasi sekaligus membantu jalannya roda pemerintahan. Dengan demikian, rasa
tanggung jawab terhadap masyarakat dalam bentuk akuntabilitas publik sulit terealisasi.
REnergi Politik
Implikasi dari hilangnya akuntabilitas publik sebenarnya tidak lepas dari kekosongan energi
politik perwakilan yang tecermin dalam politik oposisi. Dalam sistem presidensial multi partai,
oposisi sejatinya memiliki tanggung jawab ganda, yakni sebagai penyeimbang dan juga
mendorong akuntabilitas politik pemerintah terhadap publik. Hanya, peran oposisi di Indonesia
melemah ketika pelaksanaan pemilihan umum sudah usai. Ini semakin mengonfirmasi apa
diungkapkan oleh Schumpeter (1975) dan Przeworski (1991) bahwa demokrasi hanya
berkembang di level pemilu atau demokrasi minimalis.
103