Page 105 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 NOVEMBER 2020
P. 105
Pendekatan ini memfokuskan diri pada persoalan pemilihan umum (election) sebagai inti dari
demokrasi. Bagi pandangan ini, kehidupan demokrasi tak lain adalah persoalan bagaimana
berhasil dalam pelaksanaan pemilu serta ketika pejabat dan kehidupan bernegara pada akhirnya
ditentukan oleh pemilu (Noor, 2016). Demokrasi minimalis ini sebenarnya sudah bisa terbaca
pasca Pemilihan Umum 2019, di mana keterbelahan elite politik cepat sirna. Debat elite yang
begitu tajam sebelum pemilihan satu sama lain justru tidak bisa bertahan hingga lima tahun
berikutnya.
Selain faktor oposisi yang melemah, keterlibatan aktor informal (di luar pemerintah dan negara)
menjadi kunci hilangnya akuntabilitas politik terhadap publik. Lahirnya organisasi non
pemerintahan yang tidak kritis serta buzzer politik yang juga tidak kritis terhadap pemerintah
mampu menutupi dan melawan kritik publik di langgam digital. Kritik publik maupun oposisi yang
keras justru saban hari dilawan oleh buzzer politik. Implikasinya, gugatan pertanggungjawaban
dalam bentuk akuntabilitas politik tidak sampai ke telinga pemerintah.
Akar persoalan yang ditimbulkan dalam pengesahan UU Cipta Kerja pada dasarnya menjadi ujian
bagi politik oposisi di Indonesia. Dalam hal ini, politik oposisi bisa mengambil refleksi. Pertama,
sebagai lembaga formal non pemerintah, oposisi seharusnya mengintegrasikan diri terhadap
keterlibatan warga.
Secara bersamaan, kinerja oposisi harus terintegrasi dengan lembaga informal non pemerintah
maupun relawan. Oposisi bisa menjadi komando di akar rumput yang diimplementasikan oleh
semua lembaga informal non pemerintah Selanjutnya, oposisi bisa menjadi katalisator
terealisasinya akuntabilitas terhadap publik.
Kedua, oposisi harus mampu menciptakan kebijakan alternatif pemerintahan yang transparan
dan akuntabel. Artinya, kebijakan alternatif tersebut bukan untuk menyaingi kebijakan
pemerintah yang sudah ada Tetapi untuk menyempurnakan kebijakan pemerintah yang lemah
ataupun lambat Selain itu, oposisi bisa membedah secara komprehensif kebijakan pemerintah
yang dinilai tidak pro-rakyat. Dengan begitu, oposisi pemerintah tidak dipandang sebagai pihak
yang anti pemerintah. Melainkan pihak yang bisa memberikan alternatif-alternatif kebijakan
ketika pemerintah sudah tidak mampu memberikan kebijakan yang baik.
Dengan demikian, eksistensi oposisi dapat dipahami oleh masyarakat seb agai pemberi opsi
kebijakan serta menjadi garda terdepan atas pertanggungjawaban akuntabilitas politik dari
pemerintah.
*) Pemerhati politik dan demokrasi, alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
104