Page 140 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 FEBRUARI 2021
P. 140

2021. Jadi, sudah dikurangi, tapi mekanisme tetap enggak ada, yang semakin tidak efektif."
              Selama program bantuan sosial dijalankan pada 2020, masalah data menjadi sorotan. Masalah
              timbul ketika data yang dipakai pemerintah untuk menyalurkan bantuan tidak update.

              Banyak  warga  yang  sebenarnya  berhak  mendapatkan  bansos,  malah  tidak  termasuk  dalam
              daftar penerima program ini. Malah, warga yang sudah meninggal ada yang masuk dalam daftar
              penerima bansos.

              "Bansos efektif, asal datanya benar. Kadang-kadang datanya tidak benar. Sampai hari ini data
              kan  belum  jelas.  Di  daerah  saya  saja,  bantuan  pakai  data  2015.  Itu  kan  merugikan,"  kata
              Pengamat  Kebijakan  Publik,  Agus  Pambagio,  kepada  Menurut  Agus,  kalau  bansos  mau
              dilanjutkan, apapun jenisnya, yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki data. "Karena
              kalau datanya ngaco, itu jadi sumber korupsi. Kan sudah terbukti sebelumnya. Kalau data ngaco,
              itu patut diduga sengaja tidak dibenarin, supaya bisa korupsi." Ia menjelaskan, berdasarkan
              Perpres  Nomor  39  tahun  2018,  mengumpulkan  data  sebenarnya  adalah  tugas  dari  Badan
              Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

              "Jadi,  namanya  Satu  Data  Indonesia  di  Bapennas.  Tapi,  sampai  sekarang  tidak  jelas  juga
              kelanjutannya. Lalu apa gunanya ada Perpres. Data sebenarnya bisa saja disusun Kementrian
              Sosial atau Kementrian Keuangan, tapi kan by Perpres itu ada di Bappenas. Ya, itu harusnya
              dikerjakan dulu," ucap dia.

              Sementara menurut Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, perbaikan skema untuk program bantuan
              sosial  bisa  dimulai  dari  Data  Terpadu  Kesejahteraan  Sosial  (DTKS).  Enny  meminta  hal  itu
              diperbaiki oleh pemerintah agar bansos tepat sasaran.

              "Jadi, kalau datanya tidak terpadu dan tidak valid, ya susah untuk menargetkan atau berharap
              bahwa intervensi program-program itu akan tepat sasaran," ujar Enny.

              "Sudah ada permintaan dari bawah (bottom up) itu meng-update data. Misalnya dari RT/RW
              sampai kelurahan sudah di-update, tapi begitu dana itu turun, itu enggak dipake. Yang dipakai
              itu data lama lagi, banyak yang sudah meninggal, banyak yang sudah pindah, dan sebagainya.
              Artinya,  data  ini  masih  bermasalah."  Enny  mengatakan,  Data  Terpadu  Kesejahteraan  Sosial
              (DTKS) menjadi basis utama dalam memperoleh data yang lebih baik untuk penerima bansos.
              Apabila  tidak  ada  perbaikan  dari  data  DTKS,  program  akan  tumpang  tindih  lagi  dan  tidak
              terintegrasi.
              "Misalnya, DTKS sudah rapi dan terintegrasi, siapa yang mendapatkan melalui jalur A, misalnya
              jalur  bantuan  langsung  tunai.  Terus  siapa  yang  sudah  mendapatkan  dari  Banpres  (Bantuan
              Presiden).  Siapa  yang  sudah  mendapatkan  dari  sembako.  Siapa  yang  sudah  mendapatkan
              program lain dan sebagainya, begitu. Jadi terukur. Yang menjadi target itu terukur dan yang
              diintervensi juga jelas," beber wanita yang pernah menjadi staf ahli Komisi X DPR RI pada 2007-
              2010 ini.

              "Kalau seperti itu, di-mapping dengan terkoordinasi seperti itu, maka ketahuan dan terukur juga
              nanti dampak dari setiap program. Kalau ini kan nanti saling lempar kesalahan, kalau berhasil
              semua mengakui, tapi kalau ketidakberhasilan, semua saling menyalahkan.".












                                                           139
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145