Page 139 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 FEBRUARI 2021
P. 139
Menurut Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, sampai dengan triwulan 4 2020, penurunan daya beli
masyarakat secara resisten. Bahkan, hingga Januari 2021 juga masih terjadi penurunan daya
beli di masyarakat.
"Dari mana indikatornya, dari pengumuman atau rilis tentang inflasi oleh BPS kemarin
(1/2/2021). Itu beberapa harga tidak mengalami perubahan, itu bukan karena stabilitasi harga,
ya karena enggak ada permintaan. Dan yang mengalami lonjakan harga mulai di pangan, itu
semakin memperlemah daya beli masyarakat," kata Enny Hartati ketika dihubungi "Kedua dari
indikator penjualan ritel masih negatif. Ketiga dari indeks produksi, kapasitas industri terpasang
juga masih di kisaran 50-60 persen. Artinya, belum ada peningkatan produksi, karena omsetnya
masih sangat rendah, karena penjualan ritelnya rendah tadi." Enny juga melihat, selama
pandemi COVID-19 menerpa Indonesia, terdapat penurunan pendapatan di masyarakat kecil
terbawah. Wanita berusia 48 tahun ini menyebut, kelompok pendapatan rendah, yang tadinya
rentan miskin, tergeser menjadi miskin dan jumlahnya sangat besar.
"Ini artinya apa? Artinya efektivitas dari dana-dana perlindungan sosial, termasuk di dalamnya
bansos, mestinya harus efektif untuk menahan orang yang rentan miskin ke miskin," terang
Enny.
"Ini ternyata terjadi peningkatan penduduk miskin yang sangat signifikan. Artinya, ya itu
terkonfirmasi bahwa efektivitas dari dana bansos itu tidak optimal." Salah satu penyebab tidak
optimalnya program tersebut tidak lain adalah terjadinya korupsi dana bansos, sehingga
mengurangi efektivitasnya. Selain dikorupsi, distribusi dan mekanisme dana bansos dianggap
tidak terintegrasi, sehingga pemetaan dari penduduk yang menerima bansos dan tidak menerima
bansos tidak terklarifikasi secara valid.
"Jadi, sebenarnya berapa sih penduduk yang mampu diintervensi daya belinya oleh pemerintah
dengan mendapatkan bansos itu, sampai hari ini kan datanya tidak terintegrasi, karena
programnya melalui 8 skema," paparnya. "Bisa jadi secara contoh di lapangan, ada satu keluarga
yang mendapatkan beberapa skema, tapi ada yang sama sekali yang tidak mendapatkan skema
bantuan, sehingga ini juga mengurangi efektivitas dari dana bansos," ucap perempuan kelahiran
Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Wanita yang menyelesaikan gelar doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dengan
Konsentrasi Ekonomi Pembangunan di Institut Pertanian Bogor ini berharap adanya evaluasi dari
Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data penerima bansos. Tapi, Enny menyadari evaluasi itu
mungkin akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Tetapi kalau kita melihat secara makro ekonomi, sampai Januari 2021 masih terjadi penurunan
daya beli masyarakat, itu sekaligus menunjukkan memang efektivitas dari dana perlindungan
sosial maupun dana PEN selama 2020 itu memang tidak optimal," ujarnya.
"Artinya kalau itu tidak efektif, mestinya ada yang namanya Regulatory Impact Assessment
(RIA). Dalam kebijakan itu selalu ada RIA, seberapa dampak dari sebuah kebijakan itu efektif
memengaruhi target-target yang diharapkan." Dia juga mengutarakan mengenai banyaknya
kritik soal anggaran untuk program kartu prakerja. Enny menyarankan pemerintah mengevaluasi
program itu, karena berdasarkan data BPS pun menyebut sudah lebih dari 60 persen yang
mengikuti kartu prakerja, sekarang sudah bekerja.
"Ini kan tidak ada evaluasi. Yang terjadi malah program itu lanjut saja sampai 2021. Terus juga,
dengan adanya kasus korupsi bansos, ini kan juga tidak ada evaluasi. Jadi, tetap saja, sistem
dan mekanismenya sama," kata Enny.
"Kalau seperti itu, bagaimana kita berharap di 2021 anggaran yang jumlahnya sudah mulai
berkurang itu. Jadi kalau 2020 itu kan bansos lebih dari Rp200 triliun, ini kan separuhnya untuk
138

