Page 107 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 107
PENGUSAHA BEBERKAN ALASAN PERUSAHAAN TAK PATUH BAYAR PESANGON 32
KALI GAJI
Isu pesangon menjadi salah satu yang mendapatkan banyak sorotan dari para pekerja di UU
Cipta Kerja ini. Karena besaran pesangon yang didapat dari 32 kali gaji menjadi 25 gaji saja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan,
pemberian 32 gaji untuk pesangon para pekerja dinilai sangat sulit sekali. Oleh karena itu, ada
beberapa perusahaan yang tidak patuh dalam menjalankan UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun
2003 karena tidak mampu.
"Itu kalau 32 sulit sekali. Jadi kalau 32 kondisi di lapangan kan memang berat sekali kan," ujarnya
saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Hariyadi pun menjelaskan, selain pesangon para pengusaha harus mencadangkan jaminan
sosial. Dan jumlah untuk membayar jaminan sosial itu cukup besar yakni dikisaran 10,24 hingga
11,74% dari pengeluaran perusahaan.
"Karena terkait dengan masalah pesangon itu kan selain pesangon kita juga harus
mencadangkan apa yang namanya biaya untuk jaminan sosial kita harus membayar iuran untuk
BPJS Ketenagakerjaan dan juga kesehatan. Kalau kita bicara di jaminan sosial saja itu sudah
10,24 sampai 11,74. Ada perbedaannya karena di jaminan kecelakaan kerja preminya tergantung
resiko," jelasnya.
Tak hanya itu, perusahaan juga harus memberikan upah bulanan yang mana selalu naik karena
menyesuaikan dengan inflasi. Sehingga jika harus membayar 32 kali gaji, banyak perusahaan
yang tidak mampu.
“Belum lagi nanti dari upah sebulan karena kenaikan upah minimum. Jadi kondisi itu yang
membuat pada saat pesangon diberikan itu perusahaan banyak yang tidak mampu mayoritas
tidak mampu,” jelasnya.
Lagi pula lanjut Hariyadi, dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003, urusan pesangon dibuat
ngawur. Karena saat itu, langsung menetapkan angka tanpa melibatkan proses akademik.
“Saya juga ikut wakru pembahasan UU 13/2003. Mohon maaf, waktu itu juga rada ngawur.
Pokoknya taruh aja siatu angka tanpa kajian akademik melibatkan aktuaria, itu tidak ada. Saya
ingat banget waktu itu kokdisinya tidak seperti itu. Seingat saya waktu itu di bawah 19 kali. Kalau
tidak salah kita bicaranya hanya 9 kali. Tapi karena persoalan politik waktu itu, kebetulan juga
Pak Jacob Nuwa Wea adalah Menteri Ketenagakerjaan dan juga Ketua Serikat Pekerja, sehingga
berubah itu semua,” jelasnya.
(rzy)
106