Page 169 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 OKTOBER 2020
P. 169
Ossy menjelaskan, ada lima faktor mendasar kenapa RUU Ciptaker harus ditolak. Pertama,
regulasi ini dinilai tidak memiliki urgensi. Di tengah krisis pandemi, baiknya fokus pada upaya
memutus mata rantai penyebaran Covid-19 serta memulihkan ekonomi rakyat.
Kedua, perlu waktu pembahasan panjang ihwal ini. Pasalnya, regulasi ini menyangkut perubahan
UU Omnibus Law yang mengalami pergolakan, utamanya dari kaum buruh. Ketiga, RUU ini
memiliki harapan menggerakkan ekonomi nasional. Namun, malah berpotensi meminggirkan hak
kaum pekerja.
"Sejumlah pemangkasan aturan perijinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain,
yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi dan peningkatan efektivitas tata kelola
pemerintahan, justru berpotensi menjadi hambatan hadirnya pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan," jelasnya.
Keempat, Partai Demokrat memandang regulasi ini
mencerminkan bergesernya semangat Pancasila, utamanya sila kelima. Pergeseran terjadi dari
keadilan sosial, ke arah ekonomi kapitalistik, bahkan neoliberal.
Kelima, Partai Demokrat menilai regulasi ini cacat prosedur. Misalnya, pembahasan hal krusial
dianggap kurang transparan dan akunta-bel. Tidak banyak melibatkan elemen masyarakat,
pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan
relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Juru bicara SBY ini menyebut, ada tiga catatan kritis dari Partai Demokrat ihwal regulasi ini.
Pertama, ada ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip "no
work no pay" oleh pengusaha, karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam.
"Aturan ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan
untuk mempekerjakan tenaga kerja asing. Ini akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM
(Usaha Mikro Kecil Menengah -red), konsumen, dan hukum bisnis," ungkapnya.
Kedua, terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan. RUU Ciptaker dinilai melegalkan
perampasan lahan untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang
pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.
Ketiga, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat, RUU Ciptaker dianggap
membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. bsh
168