Page 94 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 OKTOBER 2020
P. 94
Akibatnya, kata Hariyadi Sukamdani, angka pengangguran dan kemiskinan tidak turun signifikan.
Apalagi di tengah pandemi, pengangguran dan kemiskinan berpotensi meningkat. "Karena itu,
Indonesia membutuhkan RUU Cipta Kerja yang akan mempermudah pembukaan usaha untuk
menciptakan lapangan kerja," tegas dia.
Hariyadi yakin, setelah disahkan, RUU Cipta Kerja bisa segera memudahkan pengusaha yang
hendak ekspansi. Di tengah pandemi Covid-19, pengusaha sektor kesehatan dan penyedia
kebutuhan sehari-hari telah siap melakukan ekspansi. Pengusaha di sektor lainnya tengah
menunggu sampai pandemi Covid-19 berhasil ditanggulangi.
"Misalnya kita mau melakukan ekspansi, itu regulasinya lebih baik, akan lebih efisien. Jadi, begitu
pandemi bisa ditangani, otomatis itu langsung bergerak. RUU Cipta Kerja ini kan sudah lama
ditunggu, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun investor di luar negeri," papar dia.
Hariyadi meyakini setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, Indonesia akan mampu bersaing dengan
negara-negara lain di Asean dalam menarik investasi asing. Selama ini, Indonesia kalah dari
negara-negara tetangga, termasuk Vietnam. "Yang kami mau, Indonesia juga jadi basis
produksi, tidak cuma menjadi pasar. Jadi, investasi yang masuk bisa menghasilkan nilai tambah
tinggi," ucap dia.
Tolak Mogok
Sementara itu, lima serikat dan organisasi buruh menolak terlibat dalam aksi mogok nasional
pada 6,7, dan 8 Oktober. Mereka adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI),
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional
(KSPN), Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Ksarbumusi), dan Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI).
Menurut Sekjen OPSI, Tim-boel Siregar, pihaknya tidak menyetujui aksi mogok dan demonstrasi
pekerja, karena tindakan itu berpotensi memicu penyebaran Covid-19. Namun, demi kesehatan
dan keselamatan pekerja, kata dia, DPR dan pemerintah sebaiknya menunda pengesahan RUU
Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR juga perlu mendiskusikan lagi RUU tersebut secara lebih intens
dengan para pekerja.
"Tidak usah dipaksain, tapi diskusikan dan komunikasikan lagi. Pemerintah harus bertanggung
jawab terkait potensi penyebaran Covid di kalangan pekerja akibat demo dan mogok tersebut,"
ucap Timboel ketika dihubungi Investor Daily di Jakarta, Minggu (4/10).
Timboel Siregar menjelaskan, hasil yang disepakati antara pemerintah dan DPR belum jelas,
mengingat banyak hal yang diserahkan ke peraturan pemerintah (PP). Misalnya Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), upah minimum, proses PHK dan kompensasi PHK, serta Jaminan
Kehilangan Pekerjaan G KP). "Seharusnya norma-norma yang terkait dengan hak konstitusional
diatur UU, bukan PP," tutur dia.
Di sisi lain, KSPSI, KSBSI, KSPN, dan Ksarbumusi dalam keterangan resminya menyatakan, pada
prinsipnya serikat buruh akan melakukan koreksi dan penolakan terhadap segala kebijakan yang
merugikan rakyat, khususnya pekerja.
"Kami juga memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dampak pandemi yang belum
berakhir. Ini sangat berbahaya bagi masyarakat. Terlebih ribuan anggota kami masih banyak
yang dirumahkan. Selain itu, kasus ribuan PHK anggota kami belum selesai," papar mereka.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani Ketua Umum KSPSI Yoris Raweai, Presiden KSBSI Elly
Rosita Silaban, Presiden Ksarbumusi Syaiful Bahri Anshori, dan Presiden KSPN Ristadi. (ant/az)
93