Page 80 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 SEPTEMBER 2020
P. 80
Hentakan Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia bermuara pada
pemburukan sektor konsumsi rumah tangga. Tidak banyak yang dapat dilakukan pemerintah.
Yang paling nyata terlihat dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Itu pun realisasinya
tersendat karena berbagai macam persoalan. Mulai dari lambannya birokrasi bekerja , misalnya
masalah daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang belum ada pada 40% dana PEN, hingga
masalah akurasi data.
Kesemua hal tersebut menyebabkan realisasi PEN belum bisa lebih cepat dan lebih besar. Pada
Juli hanya sekitar 20% anggaran PEN yang bisa disalurkan. Bahkan, program pembiayaan
korporasi belum terealisasi. Realisasi dana perlindungan sosial baru 38%; UMKM 25%;
kesehatan 7,22%; sektoral K/L dan pemda 6,5%, dan insentif dunia usaha 13%. Kondisi tersebut
menyebabkan program-program pemerintah tidak mampu menstimulus sisi permintaan dan
penawaran.
Program PEN masih berjalan dengan berbagai tantangannya. Pemerintah kemudian
mengeluarkan program-program baru untuk menggerakkan ekonomi nasional, terutama dari sisi
konsumsi. Ini disebabkan ekonomi nasional memang ditopang oleh kekuatan konsumsi. Pada
triwulan 11-2020, konsumsi rumah tangga setidaknya berkontribusi sekitar 57% terhadap PDB.
Bagi negara-negara yang memiliki backbone ekonomi sektor konsumsi (consumption driven)
akan sulit melaju jika pendapatan terus melambat. Sebagaimana diketahui hampir seluruh strata
pendapatan di dalam piramida pendapatan menurun. Kelas menengah pun tidak dapat
berkontribusi besar dalam menopang konsumsi rumah tangga karena sebagian besar dari
mereka cenderung menahan konsumsi untuk mengantisipasi pemburukan ekonomi. Pada bagian
lain, struktur kelas menengah Indonesia pun didominasi oleh kelompok yang retan keluar dari
kategori tersebut. Bisa jadi, saat covid-19 terjadi, mereka sudah tidak mampu mempertahankan
keberadaanya sebagai bagian dari kelas menengah.
Guna menahan penurunan ekonomi nasional, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan program
subsidi gaji bagi pekerja di bawah Rp 5 juta per bulan. Pemerintah berja nji menyubsidi sebesar
Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan untuk mencapai efektivitas program tersebut. Pertama, cakupan penerima program.
Pekerja yang akan disubsidi jika aktif membayar BPJS Ketenagakerjaan hingga Juni 2020,
dengan iuran di bawah Rp 150 ribu per bulan. Awalnya calon penerima tersebut mencapai 13,8
juta dan melonjak menjadi sekitar 15,7 juta pekerja. Pemerintah mengalokasikan hingga Rp 37,7
triliun untuk menyukseskan program tersebut Pemerintah menggunakan basis data BP
Jamsostek. Memang, sampai saat ini, data terpadu kesejahteraan sosial belum diverifikasi dan
divalidasi sejak 2015.
Permasalahan belum selesai sampai di situ karena muncul kekhawatiran akan keterjangkauan
pekerja sektor informal. Padahal, kelompok tersebuti juga terdampak
Covid. Apalagi, mereka sangat bergantung pada pendapatan harian dan cenderung tidak
memiliki tabungan. Data BPS pada Februari 2020 mencatat pekerja informal sekitar 74 juta atau
56% dari pekerja nasional. Pekerja informal pun tidak banyak yang terjaring program Kartu
Prakerja. Data per Mei menunjukkan 380221 pekerja informal di-PHK
Kedua, kecepatan eksekusi program. Program ini sejatinya dilaksanakan pada triwulan III dan
triwulan IV tahun ini untuk menjaga ekonomi tidak masuk resesi. Persoalannya, triwulan III
kurang lebih tinggal 1,5 bulan lagi. Sebagaimana disebutkan di atas, persoalan fundamental pro-
gram-program pemerintah adalah pada eksekusi lamban. Khusus untuk program subsidi,
eksekusinya juga bergantung pada pastisipasi perusahaan melengkapi data calon penerima,
terutama nomor rekening. Sampai saat ini, baru sekitar 700 ribu nomor rekeningyang sudah
tersedia.
79