Page 27 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 JUNI 2021
P. 27
sehingga tidak perlu diatur secara legal formal karena justru akan mempersulit pemberi kerja
mencari pekerja rumah tangga.
Cara pandang tersebut merefleksikan bahwa Golkar dan PDIP tidak menganggap penting pekerja
rumah tangga. Pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai subyek hukum. RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga mungkin "tidak berbahaya" seperti RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual, tapi juga tidak menarik bagi para politikus karena tidak menguntungkan secara ekonomi
dan tidak didorong oligarki.
Selama ini, ada masalah kultur feodalisme dalam cara pandang terhadap RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga. Pemberi kerja menganggap pekerja rumah tangga sebagai keluarga.
Pandangan tersebut kemudian melahirkan asumsi bahwa pekerja rumah tangga harus
mengerjakan pekerjaan sebagai anggota keluarga. Pekerja rumah tangga menjadi kelompok
rentan karena adanya ketidakadilan ekonomi dan budaya patriarki. Mereka kerap ditempatkan
dalam lapisan paling bawah, baik di masyarakat, pekerjaan, maupun gender. Sudah waktunya
relasi kultural yang melanggengkan hubungan kerja tidak seimbang tersebut dihapuskan.
Ketiadaan peraturan membuat sebagian besar pekerja rumah tangga melakukan kesepakatan
hanya dengan pemberi kerja. Sebagian besarnya bahkan membuat kesepakatan lisan. Hanya
sedikit pekerja rumah tangga yang memahami pentingnya kontrak tertulis. Kondisi ini membuat
pekerja rumah tangga memiliki posisi tawar rendah dan rentan dieksploitasi, ditipu, bahkan
menjadi korban perdagangan manusia. Hak-hak pekerja rumah tangga sepatutnya tidak lagi
tergantung pada kebaikan pemberi kerja, tapi sebagai relasi saling membutuhkan seperti profesi
lain.
Jika disahkan, peraturan ini tidak hanya akan berefek pada perlindungan pekerja rumah tangga
di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Selama ini, pekerja migran Indonesia banyak yang
menjadi korban penganiayaan karena negara kita tidak memiliki peraturan yang dapat
melindungi mereka.
26