Page 59 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 JUNI 2021
P. 59
Penolakan pemerintah dan DPR terhadap RUU PPRT adalah cermin pilihan sikap pembiaran dan
keengganan negara untuk menghentikan tragedi penyiksaan dan eksploitasi terhadap PRT yang
masih berlangsung hingga kini.
Artinya, negara menikmati surplus keringat perempuan PRT yang mendukung penciptaan
produktivitas nasional melalui para majikan mereka yang leluasa bekerja di wilayah publik.
Dengan hanya mengandalkan pemberitaan dari media, Jala-PRT (2021) mencatat, dari 2012
hingga 2020 terdapat rata-rata 457 kasus penyiksaan terhadap PRT per tahun, yang hampir
seluruhnya dilakukan majikan.
Memasuki 2020 masa pandemi, kasus kekerasan terhadap PRT melonjak drastis hingga 92
persen dari 467 kasus di 2019 menjadi 897 kasus di 2020, terutama karena adanya pemutusan
hubungan kerja (PHK) massal dan mendadak.
Jala-PRT menengarai beberapa bentuk kekerasan yang dialami PRT, misalnya tidak diberi gaji,
penyekapan, penyiksaan fisik ringan hingga yang meninggalkan kecacatan, misalnya pemukulan
dengan benda tajam dan tumpul, tak diberi makan, dipaksa makan kotoran, dan penyetrikaan
anggota badan. Pada 2015, masyarakat dikagetkan oleh kasus penyekapan dan penyiksaan tiga
PRT di sebuah apartemen di Jakarta oleh oknum anggota DPR RI.
Kasus lain yang lebih mengenaskan teijadi di 2016 berupa penyekapan dan penyiksaan oleh
sepasang suami istri di Utan Kayu kepada empat PRT mereka selama sembilan tahun. Hingga
April 2021, Jala-PRT sudah mencatat ada 641 kasus, termasuk yang dialami seorang PRT (EAS)
di Surabaya yang disiksa dan tak diberi makan majikannya yang berprofesi sebagai pengacara
hingga berat badan korban tinggal 32 kilogram.
Jala-PRT juga melaporkan bahwa ribuan kasus itu sering berhenti di tangan kepolisian, tak
sampai kejaksaan, apalagi pengadilan, sehingga keadilan bagi PRT ibarat jauh panggang dari
api.
RUU PPRT sebenarnya selalu masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2004,
tetapi tidak pernah diprioritaskan untuk dibahas sehingga sempurnalah penderitaan "wong cilik"
perempuan PRT jika kelak di pengujung pemerintahan Jokowi 2024, RUU PPRT kembali
dimentahkan.
Relasi ekonomi bermartabat
Kerancuan pendefinisian "P" dalam PRT sebagai "pembantu" sudah diganti menjadi "pekerja"
supaya isu dapat difokuskan ke masalah relasi kerja. Relasi ekonomi ini harus diatur supaya
sesuai dengan nilai keadilan dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dalam draf terakhir RUU dijelaskan bahwa "pekerja" adalah penerima kerja, pihak yang
menerima upah. Maka, RUU ini tak memasukkan warga yang "ngenger" (menumpang hidup),
para santri di pondok pesantren, atau anak asuh sebagai obyek UU.
Apakah dimungkinkan wilayah privat keluarga/rumah tangga diatur UU? Mungkin sekali,
misalnya UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
yang sudah menjebol sakralisasi wilayah privat keluarga. Data menunjukkan bahwa keluarga
bukan enklave yang steril dari tindakan-tindakan kriminal oleh dan kepada anggota keluarga.
Keberadaan berbagai UU itu tak merusak lembaga keluarga, tetapi sebaliknya merupakan upaya
penyelamatan agar nilai-nilai kemuliaan tetap hidup di dalam keluarga. Hal sama juga menjadi
tujuan RUU PPRT, yaitu agar martabat kemanusiaan kedua pihak terjaga karena, kata Paulo
Freire, baik penindas maupun yang ditindas sama-sama kehilangan martabat kemanusiaannya.
58