Page 143 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 APRIL 2021
P. 143
kebijakan dan strategi. Sementara yang menetapkan kebijakan adalah kementerian yang
menjalankan urusan riset dan inovasi.
Masalah lainnya adalah soal penggabungan urusan riset dan pendidikan dalam satu kementerian.
Padahal filosofi riset dan teknologi berbeda dengan filosofi pendidikan.
Menurutnya, filosofi pendidikan adalah pendampingan untuk membentuk selera (taste), hasrat
(desire), dan kebiasaan (habit) seseorang. Karenanya, hal ini lebih dari sekedar soal kurikulum,
guru, dan buku.
Sedangkan filosofi penelitian adalah pendampingan untuk membangun kemampuan berpikir
(thinking), menelisik (inquiry), dan membangun penjelasan (reasoning). Itu sebabnya mengapa
urusan riset, iptek, inovasi juga harus ditangani khusus. Karena ini bukan hanya soal
laboratorium, anggaran, atau jurnal.
"Kemendikbud (minus Dikti) sudah benar menangani soal-soal di hulu: PAUD, pendidikan dasar,
menengah, dan pembentukan nilai lewat budaya," kata Yanuar.
Kemendikbud sendiri kata Yanuar mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai pembentuk kebijakan
dan mengimplementasikannya. Itulah mengapa ada jabatan direktur jenderal pada kementerian
tersebut yang bertugas untuk membentuk kebijakan dan implementasi. Bukan justru deputi yang
hanya membentuk kebijakan atau hanya mengimplementasi.
"Kalau ristek dilebur ke sana, pasti akan jadi ditjen dan dipimpin dirjen. Padahal,
implementasinya ada di BRIN," ujarnya.
Sementara BRIN tidak bisa diberikan kewenangan membuat kebijakan. "Enggak boleh. BRIN itu
badan. Tugasnya implementasi. Adanya deputi, bukan dirjen. Coba lihat UU 11/2019, kalau
dipaksakan kebijakan di BRIN, maka akan numpuk semua. Potensi penyelewengan kuasa akan
makin besar," paparnya.
Penggabungan Berisiko Besar Yanuar juga melihat penggabungan dua kementerian tersebut
mempunyai risiko yang besar. Semua yang dikerjakan kementerian akan setengah-setengah.
"Atau berantakan dan gagal. Juga karena yang ditangani luar biasa banyaknya. Loh tapi kan
banyak orang pinter di Dikbud? Enggak akan tertangani maksimal. Percayalah," katanya.
Persoalan lain yang turut membentur kinerja kementerian yang dilebur adalaha masalah
administrasi. Menurutnya, pembentukan kementerian/lembaga baru selalu butuh waktu untuk
menyiapkan anggaran, dan strukturnya.
"BPIP, BRG, Kemenristekdikti, butuh lebih dari setahun sejak dibentuk sampai bisa berjalan.
Kemendikbudristek dan BRIN akan butuh berapa lama?" ujar Yanuar.
"Pasti bisa cepat! percaya? saya tidak. Berapa banyak eselon 1, 2 dan lain-lain dari Ristek yang
akan ke Dikbud? Mau diatur seperti apa? Berapa banyak deputi/pejabat di BRIN? Berapa lama
merekrutnya? Anggarannya gimana? Satu-satunya cara: presiden sendiri harus turun tangan
kalau mau cepat," katanya menandaskan.
Tidak Belajar dari Pengalaman Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kebijakan
pemerintahan Jokowi melebur Kemenristek ke Kemendikbud merupakan langkah mundur.
Jokowi dinilai tidak belajar pengalaman sebelumnya bahwa menggabungkan kedua kementerian
itu tidak efektif. Tugas dan fungsinya tidak berjalan maksimal.
"Kita pernah berpengalaman dengan penggabungan fungsi Pendidikan tinggi dengan Riset dan
Teknologi dalam bentuk Kemenristek-Dikti. Ternyata dalam pelaksanaannya tidak berjalan
efektif, sehingga fungsi ristek dikembalikan lagi ke Kementerian Ristek dan fungsi Pendidikan
142