Page 107 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 AGUSTUS 2020
P. 107
Begitulah sistem demokrasi menyediakan ruang demi terasah dan tajamnya gagasan lewat
adanya tindak dialog. Riuh, gaduh, atau juga ketidaknyamanan pada satu momen tertentu
mungkin takkan terelakkan. Namun, sudah banyak bukti dari keriuhan dan kegaduhan itu ada
substansi yang dapat dilahirkan dan disepakati bersama.
Ini juga yang tengah dilalui dalam proses lahirnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. RUU
ini diniatkan untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundangan yang dinilai mempersulit
masuknya investasi dan kemudahan berusaha. Harapannya tidak lain ialah terbukanya lapangan
kerja bagi rakyat. RUU yang berisi 11 klaster. 15 bab, dan 174 pasal ini akan mengubah
sedikitnya 79 undang-undang terdahulu yang berisi 1.203 pasal. Karena itu, RUU Cipta Kerja ini
disebut sebagai omnibus law.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut, klaster ketenagakerjaan menjadi poin bahasan yang
paling riuh. Berbagai kritik dan penolakan disampaikan. Klaster ini bersama Bab Ketentuan Lain-
Lain, Pasal 170, juga telah memicu gelombang demonstrasi menuntut pemerintah mencabut
gagasan omnibus law Cipta Kerja. Kelompok serikat buruh/pekerja menjadi motor penggeraknya.
Namun, itu tidak masalah. Pemerintah memang niscaya membutuhkan kawan tanding dalam
setiap kebijakan yang (akan) dibuatnya. Berbagai kelompok kritik ialah kawan tanding (sparring
partner) pemerintah agar kebijakan yang dihasilkannya dapat benar-benar teruji dan akuntabel.
Karena itu, Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan jajarannya agar membuka keran
sosialisasi dan dialog seluas-luasnya dalam pembahasan rumusan RUU Cipta Kerja.
Sebagai sebuah gagasan politik. RUU Cipta Kerja tentu harus siap dengan kegaduhan yang
menyertainya. Kritik yang keras sekalipun harus diterima, didengar, dan diolah agar menjadi
penajam dan penyempurna. Dengan demikian, ruang dialog antara pemerintah sebagai pemilik
gagasan dan kelompok kritikus harus tercipta luas dan mudah diakses.
Inilah yang menjadi benang merah dari pembentukan Tim Perumus Klaster Ketenagakerjaan
RUU Cipta Kerja, beberapa waktu yang lalu. Tim perumus berisikan anggota DPR dan perwakilan
kelompok serikat buruh/pekerja pengkritik RUU Cipta Kerja. Berbagai suara dan kepentingan
ditampung guna merumuskan kebijakan yang sebisa mungkin mampu memenangkan semua
pihak dan berdampak besar bagi rakyat.
Sebagai orang yang juga pernah aktif di jalanan, ada moral obligasi tersendiri bagi penulis yang
saat ini ada di DPR. Moral tersebut menuntun diri untuk memastikan bahwa proses dialog
kebijakan dapat terwujud luas dan partisipatif. Publik perlu tahu sikap dan keberpihakan politisi
pilihannya yang duduk di DPR.
Itulah mengapa sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja, saya mendesak keterbukaan dan
prinsip partisipatif di dalam pembahasannya. Syukur alhamdulillah, setiap proses pembahasan
RUU Cipta Kerja hingga saat ini selalu terbuka dan bisa diakses oleh umum, baik secara langsung
di balkon ruang Badan Legislasi maupun lewat kanal TV parlemen dan akun Facebook DPR RI.
Proses-proses seperti ini penting untuk dilalui walau mungkin hasilnya bisa jadi tidak sesuai
kehendak kita. Namun di situlah letak medan perjuangan politik dalam negara demokrasi.
Pembentukan Tim Perumus adalah satu langkah lanjutan yang mendapat respon positif dari DPR
maupun kelompok serikat pekerja/ buruh.
Pertarungan gagasan
Saat kali pertama mendengar niatan Presiden Joko Widodo untuk membentuk omnibus law
sebagai cara menciptakan lapangan kerja, terpikir banyaknya birokratisme yang berbelit dan
memakan waktu itu, akan terpotong. Dunia usaha dan investasi akan antusias mendapat ruang
yang didambakannya; sedangkan birokrasi yang bertele-tele akan melihat senja kalanya di saat
undang-undang omnibus law itu terwujud.
106