Page 209 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 AGUSTUS 2020
P. 209
memiliki makna "untuk semua: mengandung dua atau lebih," dan seringkali diterapkan pada
RUU legislatif yang terdiri lebih dari satu subjek umum.
Dalam perkembangannya, kata Omnibus banyak diarahkan ke dalam istilah Omnibus bill ,
yang diartikan sebagai "sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal
yang terpisah dan berbeda, dan seringkali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam
satu cara, sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui
atau juga membatalkan seluruh pengundangan." Dengan demikian, dalam konteks Omnibus
Law RUU Cipta Kerja, maka dapat diartikan sebagai bentuk "satu undang-undang yang mengatur
banyak hal", yang mana ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15
bab dan 174 pasal dan menyasar 11 klaster di undang-undang yang baru.
Mengutip Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja ( PDF ), ada 11 klaster yang masuk
dalam undang-undang ini termasuk: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi;
Ketenagakerjaan; Kemudahan Berusaha; Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM; Dukungan
Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan;
Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah; serta Kawasan Ekonomi Khusus.
Lantas, mengapa RUU ini mendapat banyak kritik dan penolakan? Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta, merilis kertas kebijakan berjudul " Omnibus Law Cipta Kerja : Obsesi
Pembangunan yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja". Tulisan itu berisi kajian,
sorotan dan kritik, hingga rekomendasi LBH Jakarta kepada pemerintah dan DPR RI terkait
Omnibus Law Cipta Kerja.
Pertama , kertas kebijakan tersebut mengkritik metode legislasi dan substansi dalam Omnibus
Law Cipta Kerja. Menurut LBH, metode legislasi yang digunakan pemerintah untuk membuat
produk RUU Cipta Kerja tidak biasa.
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019 , metode Omnibus Law
tidak dikenal. Bahkan, mereka juga menyebut bahwa di berbagai belahan dunia, "metode
Omnibus Law dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis bahkan despotis." Dalam konteks
RUU Cipta Kerja, kata LBH, pemerintah harus mengawalinya dengan memberikan perlindungan
maksimal bagi kaum pekerja untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas.
Artinya, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek.
"Sayangnya, piramida kebijakan yang digunakan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru
terbalik: menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan
pekerja pada lapisan terbawah." Tulis LBH.
Kertas kebijakan itu menyoroti tiga isu utama substansi yang terkandung dalam Omnibus Law
Cipta Kerja, salah satunya "memangkas aturan" yang menurut LBH jumlahnya mencapai 516
peraturan. Menurut LBH, hal itu justru malah akan melahirkan banyak peraturan pelaksanaan
yang baru.
"Pada akhirnya, jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis Pemerintah tentang
efektivitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia
tidak terbukti." Klaim mereka.
Sementara dua isu lain yang disorot LBH adalah Ketenagakerjaan; serta Perkotaan dan
Masyarakat Urban. Menurut LBH, Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa
pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja
perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang
PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.
208